Caption: Pertemuan Komisi IX DPR RI, Pemerintah Provinsi Papua, Kemenaker, SPSI, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, manajemen PT. FI serta perwakilan karyawan di Sasana Karya Kantor Gubernur Dok II Jayapura, Selasa (23/1/2018). ( Piet Balubun/PapuaSatu.com)
JAYAPURA, PapuaSatu.com – Komisi IX DPR RI melakukan kunjungan di Kantor Gubernur Papua, guna melakukan rapat dengar tentang masalah penyelesaian konflik yang terjadi antara PT. Freeport Indonesia (FI) dengan Pemerintah Provinsi Papua, Kemenaker, SPSI, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Manajemen PT. FI serta perwakilan karyawan.
“Kami sebenarnya merasa bergembira, merasa lega bahwa kesepakatan tersebut menjadi ujung dari langkah-lagkah penyelesaian kemelut masalah ketenagakerjaan di Freeport,” kata Ketua Tim Komisi IX yang juga Wakil Ketua II Komisi IX DPR RI, Syamsul Achmad kepada wartawan di Sasana Karya Kantor Gubernur Dok II Jayapura, Selasa (23/1/2018).
Kunjungan kerja komisi IX DPR RI ke Papua merupakan tindak lanjut dari MoU yang ditandatangani manajeman PT. FI dalam hal ini Achmad Didit Ardianto sebagai pihak pertama dan pimpinan pusat SP KEP SPSI diwakili oleh, R. Abdullah, Ferry Nuzarli, Saepul Anwar dan Afif Johan sebagai pihak kedua di Kantor Kemenaker, Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 51, Jakarta Selatan, Kamis, (21/12/2017) lalu.
Yang mana isi dari kesepakatan tersebut yakni, pihak pertama akan memberikan kebijakan kepada 3.274 orang pekerja berupa upah tergantung masa kerjanya, kedua pelunasan sebagian hutang, Saving Plan dan DPPK bagi yang berhak, surat keterangan bekerja, bantuan pengurusan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan dan point yang terakhir yakni peluang bekerja diperusahaan kontraktor.
Dalam rapat tersebut pihaknya telah mendengar dari semua pihak, namun ada interupsi dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang ada ditingkat kabupaten yang merasa tidak terwakili dari kesepakatan tersebut.
“Tentunya masalah tersebut akan mengganggu proses penyelesain konflik, oleh karena itu kami minta SPSI yang berada ditingkat pusat untuk melakukan internalisasi, agar seluruh pekerja PT. FI bisa satu suara untuk bisa berunding dengan manajemen,” katanya.
Jika karyawan tidak bisa menyatukan suara, tentunya konflik antara pekerja dengan PT. FI akan berlarut-larut dan semuanya tentu akan dirugikan.
“Meskipun dikatakan tadi kepemimpinan SPSI di Timika terjadi dualisme, tentu ada mekanisme internal untuk menyelesaikan dualisme itu, sehingga diperoleh satu kepemimpinan yang utuh yang mewakili pekerja untuk berunding dengan pihak manajemen PT. FI,” jelasnya.
Kemudian yang kedua dari hasil pertemuan tersebut, pihaknya meminta Kementerian Ketenagakerjaan untuk melihat dan meneliti tentang-norma ketenagakerjaan yang berlaku.
“Apakah norma-norma ketenagakerjaan yang telah dilakukan oleh manajemen sudah sesuai dengan ketentuan atau tidak, manajemen tentu tidak boleh memaksakan apa yang menjadi kebijakannya tanpa acuan hukum yang berlaku,” ungkapnya.
Berikutnya karena dalam forum tadi disinggung soal layanan BPJS, pihaknya meminta kepada direksi BPJS untuk mempelajari ha-hak karyawan PT. FI yang menjadi karyawan BPJS, baik sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan, agar hak-hak mereka bisa dipenuhi secara benar.
“Kenapa soal BPJS ini kami singgung, karena tadi ada keluhan bahwa layanan BPJS diputus sehingga mereka tidak mendapatkan layanan dari pihak BPJS,” ungkapnya.
Pihaknya juga berharap agar masalah yang terjadi antara PT. FI dengan serikat pekerja dapat segera selesai. [piet/loy]