JAYAPURA, PapuaSatu.com – Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Papua membantah ada tudingan sejumlah purna praja IPDN Papua terkait pungutan liar (Pungli, red) selama proses perekrutan calon praja IPDN tahun 2018 dengan biaya Rp 100 juta per orang.
Kepala BKD Provinsi Papua, Nicolaus Wenda merasa terpojokkan lewat informasi menyangkut adanya pungli dalam penerimaan Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tahun 2018 tidak benar (Hoax).
“Tidak benar ada pungli dalam penerimaan Praja IPDN di Papua, karena panitia semua dari Kementerian Dalam Negeri,” kata Kepala BKD Provinsi Papua, Nicolaus Wenda kepada wartawan di ruang kerjanya, Selasa, (21/8/2018).
Menurutnya, penerimaan praja IPDN tahun 2018, seluruh panitia adalah orang-orang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sementara Badan Kepegawaian Daerah Papua hanya melakukan fasilitasi, dan tidak terlibat langsung dalam proses perekrutan.
Wenda minta kepada Alumni IPDN Papua untuk membuktikan tuduhan pungli tersebut. “Kalau ada bukti silahkan dibeberkan, karena sejak saya menjadi kepala BKD, saya sudah berantas yang namanya pungutan liar (Pungli, red) baik dalam penerimaan CPNS, pengurusan SK dan lainnya,” tegasnya.
Dikatakan, sejak dilantikan sebagai kepala BKD Papua sudah bekerja maksimal dalam memperjuangankan ke Pemerintah Pusat, agar penerimaan IPDN di Papua harus ada pengecualian. Dimana, harusnya formasi 80 untuk Orang Asli Papua (OAP) dan 20 persen non Papua.
“Kita selama ini sudah berjuang agar dalam penerimaan praja IPDN anak-anak Papua harus menjadi prioritas, tapi sampai saat ini tidak ada direspon dari pemerintah pusat,” ujarnya.
Panitia seleksi (pansel) praja IPDN berasal dari orang-orang Kemendagri, dan BKD Papua tidak terlibat dalam kepanitian. BKD hanya memfasilitasi atau membantu panitia.
Selain itu, kata Wenda, pendaftaran praja IPDN tahun ini juga dilakukan secara online melalui website https://sscndikdin.bkn.go.id, dan dari 56 orang calon praja IPDN yang saat ini sedang mengikuti tes di Jatinangor Sumedang, Jawa Barat, Orang Asli Papua (OAP) hanya delapan orang.
“sangat disayangkan, karna kita sudah berjuang agar dari jumlah kuota penerimaan praja IPDN, 80 persen untuk OAP, tapi terbukti tidak diakomodir oleh Kemendagri, padahal kita ini daerah otonomi khusus, harusnya ada azas Keberpihakan,” tuturnya.
Wenda menambahkan, pemerintah Papua akan memperjuangkan penerimaan praja IPDN, mulai dari seleksi hingga tes kesehatan dilakukan di Papua. Sebab, katanya, Kampus IPDN sudah ada di Papua.
“saya minta dukungan dari DPR Papua, MRP, tokoh adat, agama, kita sama-sama suarakan kepada pemerintah pusat, agar penerimaan praja IPDN kedepan dilaksanakan di Jayapura,”
Wenda juga mengimbau kepada orang tua untuk memperhatikan kesehatan anak jika punya cita-cita untuk mengikuti tes praja IPDN kedepan. Mengingat, anak-anak Papua selalu gagal ketika mengikuti tes kesehatan.
Lanjutnya, nilai nilai rata-rata ijazah juga perlu diperhatikan, karena minimal 65,00 dari masing-masing nilai rata-rata rapor dan nilai ujian sekolah. Dengan demikian, ia berharap juga agar pemda Kabupaten/kota melakukan pelatihan pengenalan sistem penerimaan kepada calon peserta yang ingin mengikuti tes IPDN.
“kedepan saya imbau kalau bisa dibuat pelatihan, sehingga anak-anak ketika mengikuti tes tidak merasa gugup dan grogi,” harapnya.
Salah satu Purna Praja IPDN Papua, Gilberd Yakwart mengatakan dirinya tidak menyoroti atau menuding adanya pungli dalam proses penerimaan calon praja IPDN Papua yang diduga dilakukan staf pegawai BKD.
“Tapi saya saya hanya soroti sistem perekrutan secara online saat ini, karena sistem perekrutkan calon praja IPND secara online yang dapat merugikan anak-anak asli Papua,” kata Gilbert ketika di konfirmasi wartawan melalui telp seluler, Selasa (21/8/2018).
Ia mencontohkan, dari 13 calon praja IPDN tahun 2018, hanya satu orang anak Papua. “Kota Jayapura hanya satu anak Papua, itupun dari Serui, bukan anak port numbay,” ujarnya.
Dijelaskan, penerimaan calon praja tahun-tahun sebelumnya per kabupaten 6 orang dan hanya satu orang non Papua. “Saya berharap penerimaan kedepan di Papua tidak pakai sistem online, karena sangat merugikan anak-anak asli Papua,” kata Gilbert. [piet]