DOB Di Papua Makin Gencar, Ini Kata Staf Ahli Presiden RI

Staf Ahli Presiden RI Bidang Polhukam dan Otsus, Laus DC Rumayom
Staf Ahli Presiden RI Bidang Polhukam dan Otsus, Laus DC Rumayom

JAYAPURA, PapuaSatu.com – Setelah Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Wamena menyatakan, bahwa khusus di Papua boleh membentuk Daerah Otonom Baru (DOB), wacana pembentukan DOB Papua Selatan dan DOB Tabi Saireri makin menguat.

Terutama, untuk DOB Tabi Saireri, yang melalui Forum Kepala Daerah Se-Tanah Tabi dan Saireri yang diketuai Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw terus gencar melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas strategi dalam mempercepat terbentuknya DOB Tabi Saireri.

Untuk mendapat gambaran dari unsur pemerintah pusat, Staf Ahli Presiden RI Bidang Polhukam dan Otsus, Laus DC Rumayom, upaya pemekaran atau pembentukan DOB tidak bisa dihindarkan.

“Di dalam tata ruang pembangunan nasional, itu kita tidak bisa menghindari bahwa proteksi kita terhadap satu daerah, misalnya daerahnya luas, maka perlu di sana dilakukannya pemekaran,” ungkapnya saat ditemui wartawan di Jayapura akhir pekan kemarin.

Hal itu diisalkannya seperti Yahukimo dengan luas wilayahnya dengan jumlah distrik yang banyak di sana, juga Pegunungan Bintang, dan beberapa wilayah yang lain.

“Tentu itu menjadi konsen Bapak Presiden untuk memastikan tujuan pemekaran itu adalah kesejahteraan masyarakat itu disentuh,” jelasnya.

Persoalannya, kata Laus Rumayom, bahwa hingga saat ini banyak wilayah-wilayah pemekaran di Papua yang belum dievaluasi secara baik.

Sehingga dapat dilihat jalannya pemerintahan di Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Nduga, dan kabupaten lain yang baru dibangun setelah Otsus.

Yakni, belum ada gambaran yang menunjukkan kepada pemerjntah pusat untuk bagaimana melakukan pendampingan secara kelembagaan.

“Misalnya Nduga, sampai hari ini bagaimana Provinsi Papua untuk mendampingi kabupaten itu secara pemerintahan, termasuk Intan Jaya dan juga kabupaten-kabupaten lain,” terangnya.

Dari Kantor Staf Presiden, lanjut Laus Rumayom, prinsipnya memberi keleluasaan kepada Pemerintah Provinsi Papua untuk terus melakukan evaluasi, terus melakukan inovasi dalam mendampingi daerah-daerah tersebut.

Hal itu karena sudah terlanjur dijadikan sebuah daerah otonomi baru sebagai kebijakan tentang pemekaran pada waktu itu.

“Jadi kita juga sedang mendorong  evaluasi penyelenggaraan negara di Papua. Gubernur, DPRP, MRP, harus duduk bersama untuk melihat daerah-daerah yang sudah diberikan pemekaran tapi tidak mengalami progres kemajuan yang signifikan,” ungkapnya.

“Disitulah tugas kita (pemerintah pusat) untuk bagaimana memastikan persoalan-persoalan apa yang harus dibantu,” sambungnya.

Disinggung tentang komunikasi tim pemekaran dengan pemerintah pusat, diakui komunikasi masih bersifat parsial.

“Komunikasi sudah dilakukan, tapi saya melihatnya tidak boleh parsial, karena kita ini kan secara integrasi wilayah adat menjadi satu problem tersendiri,” ungkapnya.

Hal itu dimisalkannya ada kabupaten-kabupaten yang konsepnya diantara dua masyarakat adat yang berbeda atau lebih.

Seperti Kabupaten Mamberamo Raya, yang terdiri dua kultur area, yaitu Tabi dan Saireri. Nabire, terdiri Mepago dan Saireri.

“Sehingga konflik-konflik etnik, konflik-konflik antar suku muncul,” lanjutnya.

Menurut Laus Rumayom, kita tidak boleh melihat hanya pada satu kebijakan, seperti dilihat dari kebijakan pembangunannya saja.

“Tetapi kita melihat wilayah itu apa sudah dibangun konsep budaya yang benar atau tidak,” jelasnya.

Hal itu, terangnya, harus dibuat sebagai satu analisis antropologi dalam mendukung kajian Bappenas,maupun kajian di Ditjen Otda Kemendagri.

Supaya didalam mengeluarkan kebijakan pemekaran, pertimbangan paling mutlak adalah pertimbangan kewilayahan adat.

“Karena itu menyangkut batas tanah, batas kebun, perjanjian-perjanjian suku di waktu lalu,” terangnya.

Disinggung amanat UU Otsus yang mencantumkan bahwa tujuh wilayah adat, yang terdiri lima wilayah adat di Papua dan dua wilayah adat di Papua Barat masing-masing bisa menjadi satu provinsi, Laus Rumayom menjelaskan bahwa, aspirasi ataupun ketetapan UU Otsus memang sudah menjadi ketetapan regulasi.

“Itu silahkan diterjemahkan, tetapi hari ini yang kita butuhkan adalah evaluasi,” tegasnya.

“Bagaimana kita belum melakukan evaluasi terhadap satu kabupaten, atau kabupaten-kabupaten dalam satu wilayah adat, atau misalnya kabupaten-kahupaten yang dibentuk dan terdiri dari gabungan beberapa wilayah adat,” sambungnya lagi.

Menurutnya, hal itu menjadi kajian yang sangat penting untuk merumuskan satu kebijakan.

Sehibgga bisa dilihat apakah orientasi melakukan pemekaran itu, apakah orientasi yang sifatnya murni berbasis pada penguatan masyarakat lokal, ataukah berorientasi lain.[yat]