JAYAPURA, PapuaSatu.Com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Justice & Peace mengajukan empat permohonan atas kasus praperadilan remaja berusia 16 tahun bernama Muhammad Ryian Akbar.
Muhammad Ryian Akbar ditangkap oleh jajaran Polres Keerom dalam kasus dugaan pencurian ternak Sapi pada 2 Mei 2017 lalu dan kasus tersebut diproses hukum hingga masuk dalam porses persidangan.
Keempat permohonann yang dilakukan kepada Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura untuk dikabulkan yakni, pertama menerima dan mengabulkan gugatan pemohon untuk seluruhnya.
Kedua menyatakan tindakan penangkapan, penahanan dan penyidikan atas pemohon tidak sah secara hukum karena melanggar ketentuan Perundang-Undangan dan Hak Asasi Manusia.
Ketiga menghukum termohon untuk meminta maaf secara terbuka kepada pemohon lewat media massa selama 2 (dua) hari berturut-turut dan keempat, memulihkan hak-hak Pemohon, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya,.
Ketua LBH Papua Justice & Peace, Yuliyanto, SH, MH selaku Klien Muammad Ryian Akbar merasa bahwa penangkapan terhadap kliennya tidak dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dari pihak Kepolisian.
Hal itu disampaikan langsung dalam proses sidang kedua, pada Rabu (12/7/2017). “Kami mengajukan pra peradilan terhadap Polres Keerom karena Kepolisian setempat telah melakuan penangkapan terhadap MRA yang masih berusia 16 tahun, tanpa menggunakan surat perintah penangkapan resmi,” kata Yulianto, Sabtu (15/7/2017).
Menurutnya, sura penangkapan terhadap kliennya baru diterima oleh orang tuanya setelah dua hari dari penangkapan pada tanggal 2 Mei 2017 lalu. Anehnya, penahanan kliennya disatukan dengan tahanan orang dewasa dalam selama penahanan mendapat kekerasan.
Ditegaskannya, tindakan dari pihak Kepolisian tersebut telah melanggar Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahu 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menerangkan bahwa pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
“Penangkapan wajib dilengkapi surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang saat dilakukan penangkapan,” tegas Yulianto.
Bahkan lanjut dia, tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dinilai tidak sesuai dengan UU sistem peradilan anak. Dimana kliennya ditangkap lebih dari 1×24 jam guna proses penyidikan tanpa adanya pendampingan dari wali/orang tuanya saat dilakukan proses penangkapan.
“Hal tersebut melanggar Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak yang berbunyi “Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam,” tukasnya
Yulianto menerangkan, seharusnya pendampingan oleh wali diterangkan dalam Pasal 79 Huruf a yang mana, dalam hal anak yang ditangkap, petugas wajib memperhatikan hak tambahan bagi anak yang ditangkap sebagai berikut: a. hak untuk didampingi oleh orang tua atau wali:” umur MRA saat ini masih 16 tahun. “Dasar itulah kami menyampaikan empat permohonan dalam sidang kedua di pengadilan Negeri kelas 1 A Jayapura,” imbuhnya. (Nius)