Menanti Ketegasan dan Profesionalisme DKPP terhadap Kasus KPU dan Bawaslu Papua

115

JAYAPURA, PapuaSatu.com – tepat tanggal 30 Juni Tahun 2025 merupakan hari yang paling menyesakkan bagi tiga anggota KPU Kota Jayapura Provinsi Papua ditengah proses pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua.

Ketiga Komisioner KPU Kota Jayapura ini diberhentikan, lantaran mereka telah di hukum dengan pemberhentian tetap dari dewan kehormatan penyelenggara Pemilu Republik Indonesia, dengan tuduhan telah membiarkan terjadinya penggelembungan suara terhadap satu pasangan calon Gubernur Papua pada pilkada serentak 2024 yang lalu.

Putusan DKPP ini seakan telah memenuhi rasa keadilan (Kepuasan) pihak yang menggugat, tetapi secara substantif sesungguhnya telah meniadakan adanya kenyataan (Fakta Hukum) yang tak terbantahkan, bahwa tiga anggota KPU yang dipecat oleh DKPP tersebut sesungguhnya hanyalah kepingan kecil dari puzzle carut marut pilkada Papua, yang justru oleh DKPP para aktor utamanya masih tetap dapat bekerja sebagai penyelenggara meskipun sudah terbukti secara sah dan meyakinkan.

Mereka telah bertindak dengan sewenang wenang, dengan sengaja melanggar peraturan perundang undangan dan kode etik penyelenggara pemilu.

Hal tersebut sangat disayangkan oleh juru bicara pasangan Mathius Derek Fakhiri-Aryoko Rumaropen melalui press releasenya, pada Minggu 6 Juli 2025.

Rifai menyebutkan, cukup janggal jika mencermati putusan DKPP yang ada selama ini. Ada kesan keberanian para penjaga kehormatan penyelenggara pemilu itu akan sangat galak/tegas kepada para penyelenggara kecil (akar rumput), tetapi sangat ramah kepada para pemegang kuasa tertinggi.

“Tentu kita tidak akan melupakan adanya putusan unik DKPP kepada seorang Hasyim Asyari (Ketua KPU RI) sebelum akhirnya yang bersangkutan benar benar diberhentikan,” ujarnya.

Dikatakan, contoh yang paling mutakhir adalah putusan nomor 229 tahun 2025 yang hanya memberi teguran keras kepada 5 anggota KPU Papua yang nyata-nyata melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar undang undang Pilkada dan PKPU, serta melawan kode etik penyelenggara pemilu, yang berdampak pada kerugian keuangan negara sebanyak 204 miliar rupiah. “Sekali lagi perlu saya ditegaskan, bahwa perbuatan 5 anggota KPU Papua tersebut merupakan pangkal dari semua masalah pilkada di Papua, ” tukasnya.

Lebih lanjut disampaikan Rifai Darus bahwa tuduhan penggelembungan yang dialamatkan kepada tiga anggota KPU kota Jayapura itu sesungguhnya tidak akan pernah terjadi, jika sejak semula KPU Papua tidak meloloskan pasangan yang tidak memenuhi syarat untuk berlaga dalam kontestasi pilkada. Sayangnya konteks ini tidak pernah dianggap ada oleh DKPP.

Padahal, menurutnya, DKPP sendiri yang telah menyatakan KPU Papua terbukti bersalah karena meloloskan pasangan yang tidak memenuhi syarat, dan jika dikorelasikan dengan putusan mahkamah konstitusi yang telah membatalkan hasil pilkada Papua, maka seharusnya dapat dimaknai bahwa Pilkada Papua itu tidak pernah ada, karena unprosedural, maladministrasi, dan tidak memenuhi syarat sebagai sebuah proses yang disebut pilkada, sehingga harus diulang dan dimulai dari 0 (nol).

“Jadi menjadi sangat naif, jika tiga anggota KPU Kota Jayapura ini harus diberhentikan untuk sesuatu proses yang sesungguhnya sudah dianggap tidak ada oleh Mahkamah konstitusi, dan unprosedural menurut DKPP sendiri,” katanya.

Rifai menuturkan, penghukuman terhadap 3 (tiga) anggota KPU Kota Jayapura oleh DKPP ini seperti sebuah paradoks, karena disatu sisi DKPP seakan-akan membenarkan adanya proses pilkada yang tidak benar di Papua, sehingga ada pihak yang harus diberhentikan dari adanya ketidakberesan dari penyelenggaraan pilkada itu.

“Sampai di sini tentu kita harus sependapat, namun, jika pertanyaan kritis harus diajukan kepada DKPP adalah, mengapa yang diberhentikan hanya penyelenggara Tingkat bawah (Kota)? Sementara Penyelenggara Tingkat Provinsi hanya diberi teguran keras? Bukankah seharusnya penyelenggara Tingkat provinsi di Papua yang paling bertanggungjawab terhadap ketidakbenaran proses pilkada di Papua?. Apa alasan logis pemaaf bagi penyelenggara Tingkat provinsi, sehingga DKPP hanya menegur,” katanya menanyakan. [redaksi]