Pernyataan Peristiwa Fayit Banyak Orang-orang yang tidak berkompeten Tanpa Melihat Peristiwa Lengkap

1009
Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf. Muhammad Aidi
Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf. Muhammad Aidi

JAYAPURA, PapuaSatu.com –  Peristiwa kerusuhan di Distrik Fayit kabupaten Asmat pada tanggal, 27 Mei 2019 hingga mengakibatkan jatuhnya korban karena tertembak oleh aparat TNI, kini terus di perbincangkan.

Hal tersebut dikarenakan berbagai muncul statmen dan kecaman yang tidak memberikan solusi penyelesaian terhadap persoalan yang terjadi. Bahkan sepenuhnya ditumpahkan kepada institusi TNI sebagai pelaku Kejahatan.

Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi menegaskan, munculnya berbagai spekulasi dan komentar dari berbagai pihak, termasuk dari gereja Katolik Keuskupan Agast tidak tanggung-tanggung mengeluarkan pernyataan sikap secara resmi dengan NO: 059.020.22.06 pada 01 Juni 2019 yang mengecam intitusi TNI yang telah melakukan penembakan dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka tembak terhadap warga perusuh yang seolah-olah segala kesalahan terjadinya kerusuhan di Fayit Asmat sepenuhnya ditumpahkan kepada institusi TNI sebagai pelaku kejahatan.

Aidi menegaskan, kecam mengecam bukanlah solusi bijak untuk menyelesaikan suatu persoalan akan tetapi setiap orang dari pihak manapun harusnya mampu melihat setiap persoalan secara holistis, atau memandang setiap bagian peristiwa tersebut dalam suatu kesatuan secara menyeluruh.

Dijelaskan, sejak hari pertama kejadian kerusuhan di Fayit,  Pangdam XVII/Cen Mayjen TNI Yosua Pandit Sembiring menerima laporan atas peristiwa tersebut dan langsung mengambil langkah cepat dengan mengundang seluruh komponen terkait antara lain Polda Papua, Komnas HAM RI perwakilan Papaua/Papua Barat, Pemda Asmat melalui Danrem 174/ATW untuk segera melakukan investigasi langsung ke TKP agar dapat mengungkap peristiwa yang sebenarnya yang terjadi di Fayit Asmat.

“Investigasi sudah dilaksanakan dalam keadaan tertib aman dan lancar, dan yang paling penting bahwa invesitigasi tersebut dilaksanakan secara terbuka dan menyeluruh,” tegas Aidi dalam press releasenya, Jum’at (7/6/2019).

Mekanisme pelaksanaan investigasi yang dilaksanakan sudah sesuai. Dimana pertama telah meninjau dan mengecek secara langsung dampak kerusakan, kedua sudah mewawancarai saksi-saksi diantaranya korban pengrusakan dan penjarahan harta benda, pelaku kerusuhan dan oknum anggota TNI pelaku penembakan, ketiga telah emeriksa barang bukti berupa berbagai macam senjata milik perusuh yang tertinggal di TKP dan keempat telah melaksanakan olah TKP dengan melibatkan pelaku kerusuhan.

Peristiwa yang terjadi di Fayit, tegas Aidi, seharusnya hanya pihak-pihak yang berkompeten yang boleh memberikan pernyataan. “Mereka adalah yang terlibat langsung dalam kegiatan investigasi, karena merekalah yang mendapatkan informasi secara lengkap dan holistis,” katanya.

Namun sangat berbeda apabila komentar atau pernyataan disampaikan oleh  pihak-pihak lain yang tidak berkompeten dan tidak mengetahui secara lengkap tentang peristiwa tersebut, termasuk dalam hal ini pihak Gereja Katolik Keuskupan Agast yang pasti tidak mendapatkan keterangan secara lengkap dari berbagai sumber sehingga melahirkan persepsi dan pandangan yang tidak berimbang dan berpotensi mengandung unsur porvokatif.

“Karena minimnya informasi dan keterangan, maka pihak Gereja Keuskupan Agast telah mengeluarkan pernyataan sikap yang mengandung unsur menghakimi, dengan seolah-olah menumpahkan seluruh dosa dan kesalahan hanya tertuju sepenuhnya kepada institusi TNI, tampa melihat faktor lain,” tukasnya.

Dikatakannya, pihak Gereja Keuskupan Agast hanya melihat persoalan pada akhir kejadiannya saja, namun tidak memeriksa dan mempelajari bagaimana proses kejadiannya sejak awal, siapa-siapa saja pelakunya, bagaimana dampak kerusakan, siapa provokator atau pemicunya dan lain-lain faktor pendukung lainnya.

Dalam pernyataan sikap tersebut, lanjut Aidi, pihak Gereja Keuskupan Agast menuding bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Fayit Asmat yang dilakukan oleh TNI.

“suatu peristiwa mengandung unsur pelanggaran HAM atau tidak, sama sekali bukanlah rana dan kewenangan pihak Gereja, pengadilan lah yang paling berwewenang dan berkompeten tentang hal tersebut,” katanya.

Lanjut dia, saat ini proses hukum terhadap oknum anggota TNI yang terlibat dalam kasus di Fayit sedang berlangsung, namun membutuhkan waktu sehingga diharapkan semua pihak bersabar untuk menunggu hasilnya.

“Anggota TNI yang melakukan penembakan sedang menjalani pemeriksaan di Pomdam XVII/Cen dalam rangka proses hukum, demikian pula Polda Papua akan segera melaksanakan proses hukum terhadap pelaku kerusuhan terutama provokator yang menjadi pemicu terjadinya kerusuhan,”  paparnya.

Dalam peroses hukum khususnya terhadap oknum anggota TNI yang melakukan penembakan, tentunya pengadilan akan menijau dan mempertimbangkan berbagai aspek dalam mengeluarkan keputusan hukum.

“Diantaranya pengadilan dapat menerapkan Pasal 49 KUHP yang mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” atau “pembelaan terpaksa” (noodweer) untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat. Jadi semua pihak jangan terlalu mudah melontarkan tudingan apalagi kecaman tampa dasar,” tukas Aidi.

Lebih lanjut disampaikan Aidi bahwa para pengguna Medos saat ini catatan korban penembakan yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri selama kurung waktu tahun 2019 yang mengakibatkan jatuh korban sipil hingga 11 orang.

Namun menurutnya, bahwa setiap bentrokan antara aparat keamanan dengan  warga sipil di Papua yang berujung pada jatuhnya korban pasti diawali karena adanya sebab akibat.

“Patut disayangkan bahwa warga kita di Papua masuh terlalu mudah melakukan tindakan anarkis, melakukan penyerangan dan pengrusakan dengan berbagai macam senjata, baik senjata tajam, senjata pemukul, senjata pelempar atau pelontar senjata penikam dan lain-lain,” katanya.

Bukan hanya itu, akan tetapi juga termasuk dalam penyampaian aspirasi sering sekali diikuti dengan tindakan anarkis sehingga aparat keamanan yang bertugas selalu dihadapkan pada pilihan sulit antara menjadi korban sia-sia atau terpaksa menjatuhkan korban.

Di sisi lain terjadinya serangkaian aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, misalnya pembantaian terhadap warga dan penembakan terhadap pesawat di Kenyam Nduga, pembantaian terhadap tukang ojek di Lanny Jaya, pembantaian terhadap pemilik kios di Puncak Jaya, Pembantaian terhadap puluhan orang karyawan PT. Istaka Karya di Yigi Nduga, penyanderaan dan pemerkosaan terhadap guru-guru dan tenaga medis di Aroanop dan di Mapenduma, penyerangan dan pengrusakan oleh perusuh di Fayit Asmat dan penyerangan terhadap aparat keamanan di berbagai tempat yang mengakibatkan jatuh korban jiwa dan lain-lain.

“Semuanya seolah-olah luput dari perhatian. Bahkan terkesan sengaja ditutupi dengan pembentukan opini membeberkan berbagai kesalahan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Meskipun kesalahan-kesalahan tersebut hanya dipandang pada hasil akhir setiap peristiwa tanpa mau jujur membahas dan meneliti bagaimana proses peristiwa tersebut terjadi,” cetus dia.

Oleh karena itu, demia menjamin kepastian dan kewibawaan hukum diseluruh wilayah hukum NKRI maka hukum positif harus ditegakkan. “Misalnya penerapan UU Darurat Republik Indonesia No. 12 tahun 1951 tentang larangan membawa dan menggunakan senjata tajam, senjata pemukul, senjata penikam dan lain-lain dengan tuntutan hukum hingga 20 tahun penjara,” tukasnya.

Sebaiknya,  papar Aidi,  semua pihak mampu menempatkan diri pada batasan, tataran, fungsi dan kewenangan masing-masing tampa harus mencampuri dan melampaui batasan kewenangan pihak lain.

“Kita semua tentunya berduka cita dan berbelasungkawa atas kejadian di Fayit serta kejadian-kejadian lain yang memakan korban,” katanya.

Atas nama seluruh Prajurit TNI di wilayah Kodam XVII/Cenderawasih dan atas nama  pelaku penembakan (Oknum anggota TNI) yang saat ini sedang menjalani proses hukum.

Pangdam Mayjen Yosua Pandit Sembiring telah menyampaiakan rasa duka cita dan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas peristiwa yang memakan korban tersebut.

“Beliau juga telah menfasilitasi para unsur penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pangdam juga telah berjanji akan menanggung segala biaya pengobatan terhadap korban luka tembak a.n Jhon Tatae yang sekarang sedang dirawat di RS. Bhayangkara Jayapura, termasuk biaya transportasi kembali ke kampung halamannya kelak bila sudah sembuh,” ujarnya.

Aidi berharap agar sebaiknya pihak Gereja sesuai dengan fungsinya mengajak seluruh warga berdo’a agar korban diterima di sisi Yang Maha Kuasa, dan agar peristiwa seperti ini tidak terulang lagi serta seluruh pihak dapat saling memaafkan dan kembali merajut persatuan dan kesatuan untuk bersama-sama membangun Bangsa dan Negara.

“Melalui gereja juga hendaknya ikut berperan menghimbau masyarakat agar sadar dan taat hukum. Setiap warga hendaknya menghindari menyimpan, memiliki dan menggunakan berbagai macam senjata jenis apapun tampa hak. Karena kepemilikan dan penggunaan senjata jenis apapun adalah melanggar hukum dan perundang-undangan,” imbuhnya. [loy]