JAYAPURA, PapuaSatu.com – Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi ‘geram’ atas pernyataan tokoh Intelektual Intan Jaya, Elly Tipagau yang menyebutkan bahwa TNI/Polri menjadi fasilitator perang suku di Papua.
Muhammad Aidi secara tegas membantah keras pernyataan tersebut, karena pernyataan yang disebutkan Elly Tipagau hanya memandang persoalan dari satu sudut pandang yang sangat dangkal dan cenderung berusaha menggiring opini pembaca ke arah negatif dengan melemparkan kesalahan kepada aparat keamanan TNI-Polri.
“Saya melihat tulisan yang dituangkan di salah satu media online sama sekali tidak memenuhi unsur intelektual karena yang bersangkutan sama sekali tidak ada upaya menggali dan mengkaji persoalan dari akar masalah yang sebenarnya,” kata Muhammad Aidi dalam press release yang di kirm via selulernya, Minggu (18/3/2018).
Ia mennyebutkan, Elly Tipagau hanya melihat persoalan perang suku di Papua dan lebih fokus melihat sisi negatif kehadiran TNI-Polri dengan memutar balikkan fakta untuk mendiskreditkan TNI-Polri.
“Tanpa mau tahu atau pura-pura tidak tahu bagaimana proses terjadinya perang suku, apa pemicunya? siapa provokatornya? bagaimana peranan kepala Suku, Toko Adat, Toko Agama, Toko pemuda, kaum intelektual, pemerintah daerah dan lain-lain dalam mencegah terjadinya perang suku atau sebaliknya justru mereka itulah yang menjadi objek, alasan, penyebab dan provokator terjadinya perang suku di Papua,” katanya.
Aidi menyimpulkan bahwa apa yang disampaikan Elly Tipagau dalam tulisannya bahwa perang suku yang terjadi di Bumi Cenderawasih Papua karena difasilitasi oleh TNI-Polri sebagai lahan bisnis merupakan tuduhan yang sangat tidak mendasar dan mengandung unsur fitnah apalagi bila disebutkan bahwa TNI-Polri berbisnis dengan darah dan nyawa rakyatnya sendiri.
Sebab menurutnya, perang suku telah mewarnai kehidupan masyarakat Papua sejak dahulu kala, hanya karena persoalan sepele yang sebenarnya dapat diselesaikan secara baik-baik dengan musyawarah tanpa harus menjatuhkan korban.
“ Ya, kita lihat penyebab perang suku umumnya karena Miras yang memicu perkelahian yang kebetulan beda suku, asusila melibatkan antar suku berbeda, laka lalin menyebabkan korban dari suku yang berbeda dan adanya perebutan kepentingan dari kaum elite politik dan elite kepentingan dengan melibatkan massa,” paparnya.
Bahkan lanjutnya, faktor utama terjadinya perang suku di Papua antara lain adala faktor bahasa, tingkat pendidikan, Kesukuan yang sangat kental dengan solidaritas sempit yang sangat kuat, pemahaman dan penegakan hukum positif yang sangat rendah.
Dari segi faktor bahasa, bahwa Papua terdiri dari ratusan bahasa yang tidak saling memahami antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya, sehingga penyelesaian konflik antar suku hampir tidak mengenal musyawarah. “Penyelesaian konflik dilaksanakan dengan cara saling menyerang dan balas dendam tampa ada kesudahannya,” katanya.
“Beruntung, kita sekarnag sudah mengenal bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi antar ratusan suku sehingga hendaknya Bahasa Indonesia bisa menjadi alat pemersatu antar suku, bangsa dan Negara,” katanya.
Dengan bahasa Indonesia, kata Aidi dapat mempersempit ruang perbedaan dan mempertemukan kesalah fahaman satu sama lain, mempersatukan perpecahan sehingga terwujud persatuan dan kesatuan Bangsa yang kokoh dan kuat.
Oleh karena itu, Aidi berharap jangan sampai justru terjadi sebaliknya, bahasa menjadi sarana pemecah belah persatuan dan kesatuan Bangsa, sarana provokasi, penyebar fitnah, penyebaran berita bohong atau Hoax, adu domba dan lain-lain. “Kami juga berharap jangan ada yang memprovokasi masyarakatnya hanya dengan kata dan kalimat seperti yang disampaikan oleh Elly Tipagau. Jangan terjadi itu lagi,” harapnya.
Lebih lanjut disampaikan Aidi bahwa pokok persoalan bahwa TNI-Polri sebagai fasilitasor perang suku di Papua menurut definisi Elly Tipagau Seorang Intelktual Intan Jaya.
“Saya mau katakana bahwa kehadiran aparat keamanan di medan pertempuran perang suku tidak mungkin langsung mengambil tindakan main babat yang dapat mengakibatkan terjadinya jatuh korban yang lebih banyak,” katanya.
Atau lanjutnya, aparat keamanan tidak secara konyol langsung terjun ke tengah-tengah kancah pertempuran, sehingga justru aparat keamanan yang menjadi korban pembantaian dari kedua kubuh yang bertikai tetapi dalam penyelesaian perang suku yang sedang berkecamuk, aparat keamanan telah memiliki prosedur tetap dengan pentahapan dalam mengambil tindakan sesuai dengan eskalasi ancam yang terjadi.
Aparat melakukan berbagai proses yakni melalui proses mediasi, himbauan dengan pengeras suara dan seterusnya termasuk di dalamnya mengisolasi konflik agar tidak meluas kemana-mana atau mengakibatkan pengrusakan fasilitas umum, fasilitas negara dan objek vital.
“TNI-Polri tidak pada posisi untuk memprovokasi, tapi bagaimana perang suku di Papua tidak terjadi, berupaya untuk mempertemukan para tokoh masyarakat agar persioalan persang suku bisa diselesaikan dengan baik. Dimana, langkah awal dilakukan yakni melakukan sweeping agar tidak terjadi konflik susualan,” jelasnya.
Aidi mengatakan, untuk menyelesaikan problema perang suku di Papua tidak bisa dengan cara melemparkan kesalahan kepada aparat TNI-Polri tetapi perlu keterlibatan dan keterkaitan seluruh komponen bangsa dengan cara menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana persatuan dan kesatuan bangsa, bukan sebagai alat pemecahbelah persatuan dan kesatuan.
Kemudian, para elite politik, kaum intelektual, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat dll, agar memberikan pendidikan positif kepada rakyat dengan menyampaikan informasi yang benar dan mendidik, bukan menyesatkan apalagi menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.
“Perlu adanya penanaman rasa persatuan dan kesatuan yang harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa yang difasilitasi oleh pemerintah sehingga tercipta kerukunan tampa membedakan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan,” kata Aidi.
Disamping itu, semua elemen masyarakat dapat memberikan pemahaman, penerapan terhadap kepatuhan dan penegakan hukum positif oleh seluruh komponen bangsa, bukan dengan cara mengedepankan hukum adat dengan mengabaikan hukum positif ataus ering terjadi penegakan hukum positif oleh aparat justru dihalangi elite-elite tertentu dengan alasan adat Kesulungan, agama, hak ulayat dan lain-lain. [loy]