Ini Tanggapan PENA 98 Papua Terkait Aksi Terorisme di Indonesia

1188

MANOKWARI, PapuaSatu.com – Menanggapi sejumlah persitiwa mengenaskan yang terjadi beberapa waktu lalu akibat terorisme. Adolf T. Rumaikewi, Perhimpunan Nasional Aktivis (PENA) 98 Papua angkat bicara.

Menurutnya, rentetan peristiwa yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sebetulnya bagian dari kontradiksi demokrasi.

“Artinya ketika kita mencoba berbicara demokrasi kemudian berpangkal pada perlawanan mahasiswa 98, itu tidak terpikirkan efek dari keterbukaan yang menurut saya terpaksa. 32 tahun ini orang di koptasi, tapi satu tahun setelah itu. Keterbukaan itu memang benar-benar di buka,”ujar PENA 98 Papua, Adolf T. Rumaikewi yang ditemui, PapuaSatu.com, di Manokwari, baru-baru ini.

Dimana, kata Adolf, semua ruang itu memang betul-betul menjadi milik publik. Sambungnya, maka disinilah yang sebetulnya tidak pikirkan oleh kawan-kawan 98, meski yang dimaksudkan pada saat itu harus tercipta demokratisasi dan keterbukaan itu punya implikasi yang berbeda.

“Ada banya pilihan orang untuk ikut serta dalam demokratisasi di jalan yang benar, tapi ada juga orang punya piihan untuk menggunakan demokratisasi ini sebagai bagian dari untuk membalaskan dan menegakan ideology mereka. Jadi saya kira tantangannya itu dan sampai sekarang tidak bisa dipecahkan,”sebut Adolf Rumaikewi.

Apalagi, lanjutnya, adanya arus globalisasi informasi yang begitu kencang yang membuat semua orang bisa merespon segala macam dan berpikir baik positif dan negative.

Maka, katanya, ini yang kemudian membuat kontrol pemerintah menjadi lemah, karena keterbukaan jauh lebih cepat ketimbang persiapan pemerintah mengantisipasi hal-hal tersebut yang terjadi.

“Sekerang baru pemerintah bisa bicara tentang facebook, dan WhatsApp dan sebagainya. Padahal itu kan lama dipakai sama organisasi yang berlawanan dengan pemerintah seperti terorisme untuk melawan konsolidasi. Jadi saya pikir, ruang ini kemudian di ambil oleh mereka atau terorisme dan membandingkan idelogi mereka dengan negara,”jelasnya.

Dirinya mengemukakan, berapa waktu PENA 98 sempat diskusikan hal tersebut Staf Kepresidenan, dan apabila pemerintah mau untuk memperketat pengawasan serta bertindak. Berarti, lanjutnya, pemerintah harus membatasi sosmed-sosmed tersebut.

“Artinya ada langkah yang tepat dari pemerintah untuk mengantisipasi informasi-informasi hoax dan pemerintah mau melakukan itu. Nah, kita lihat memang semenjak gejolak di Indonesia yang motifnya itu jauh lebih kepada kaum ekstrim kanan, maka pemerintah harus melakukan itu,”ucapnya.

Disamping itu, Adolf mengatakan, mengenai PERPU Terorisme untuk kondisi Indonesia saat ini sangat dibutuhkan, maka Presiden segera mengesahkan PERPU atau Undang-Undang itu dan pastilah mendapat dukungan dari rakyat Indonesia.

“Kejadian kemarin itu, kan sampai menggunakan anak kecil dan itu sangat tidak masuk akal bagi kita, api bagi mereka (teroris) sangat masuk akal. Kalau di bilang ini bekas orang ISIS dari Suriah, ya mungkin benar. Tapi yang jadi persoalan kan, kenapa dia sampai disini, nah tidak menutup kemungkinan akibat sosmed yang mengeluarkan informasi tanpa tanggungjawab. Padahal sudah dikasi tanggungjawab,”tuturnya.

Dikatakannya, di zaman Presiden Soeharto tidak ada hal-hal seperti ini yang terjadi, karena bicara maupun bertindak sedikit saja pasti ditangkap.

“Tapi kan kita tidak perlu kembali ke massa itu, dan massa ditengah keterbukaan saat ini, kita harus kembali. Pilihan yang jauh lebih baik ada, diantaranya media sadar bahwa mereka tidak boleh bersinggungan dengan soal-soal yang membangkitkan intoleransi, dan radikalisasi,”katanya.

Dikemukakannya bahwa khusus untuk Tanah Papua jauh lebih rentan, karena sistem sosialnya sampai ketingkat bawah atau RT/RW tidak ada aturan yang diterapkan tentang migrasi kependudukan.

“Sekerang ini menjadi sangat rentan. Terutama di daerah perkotaan, karena kencenderungan konflik itu terjadi di daera perkotaan dan itu salah satu yang menjadi bahan penelitian kawan-kawan LSM terkait. Jadi saya kira itu, terus kemudian rentan juga di atministrasi paling akar sekali itu tidak ada kesiapan,”sebutnya.

Maka, menurutnya, lebih baik RT/RW kembali hidupkan sistem pos kambling, karena warga tidak memiliki sumber daya apa-apa.

“Tapi kalau hanya berharap saja kepada TNI-Polri sementara di kepala mereka dan kepala kita beda, bisa terjadi sesuatu hal yang aneh. Jadi meningan kita bikin saja sendiri-sendiri sistem keamanan masyarakat,”bebernya.

Dirinya juga berharap pemerintah bisa menindak tegas para pelaku maupun pemasok minuman keras (miras) ke tanah Papua, agar tidak menjadi media untuk masyarakat melakukan kegaduhan saat mengkonsumsi miras.

Kemudian, kata dia, yang perlu menjadi perhatian itu, khusus untuk semua eleman maupun lembaga bahkan institusi untuk menyikapi persoalan yang terjadi di luar tanah Papua.

“Saya rasa, kawan-kawan di tanah Papua ini sama sekali tidak punya kewajiban untuk merespon. Kenapa tida boleh, massa itu tindak personal yang menjawab institusi. Itu sebenarnya ngak boleh,”tegasnya.

Menurutnya, yang bisa melakukan atau merespon hal itu hanya aliansi, karena institusi dengan institusi juga sering membuat kabur keadaan. Dimana, takutnya terjadi benturan antar institusi maka kondisinya akan jauh lebih buruk. [free]