MANOKWARI, PapuaSatu.com – Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy tapi juga seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua kembali angkat bicara soal peranan organisasi koalisi perjuangan rakyat Papua bernama United Liberation Movement for West Papua/ULMWP atau Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat sangat urgen dan signifikan pada soal tersebut.
Pasalnya, menurut Warinussy, sejak ULMWP diterima sebagai bagian dalam keanggotaan organisasi persaudaraan negara-negara sub etnis Melanesia (Melanesia Spearhead Group/MSG), pemerintah Indonesia memberikan respon atau tanggapan atas pernyataan para pemimpin negara Pasifik dan Karibia tersebut secara sangat “prematur” dan cenderung memalukan dan tidak faktual serta terkesan penuh kebohongan di depan forum internasional tersebut.
Pernyataan tersebut, kata Warinussy, disampaikan melalui diplomat muda dan cantik bernama Ainun Nuran, yang menyatakan bahwa mereka telah membangun jalan sepanjang 4.325 kilometer di Tanah Papua ?
“Entah dimana letak jalan tersebut? jalan tersebut melintas dari kota mana ke kota mana? atau dari Provinsi mana ke Provinsi mana? apakah ada menimbulkan dampak penting atau tidak bagi kehidupan sosial-budaya dan ekonomi OAP ?” Kata Yan Wasinussy kepada melalui press releasenya yang diterima PapuaSatu.com, Minggu (15/10/2017).
Tak hanya, sebut Warinussy, diplomt Indonesia itu juga mengatakan bahwa ada 2,8 juta penduduk asli Papua telah mendapat akses pelayanan kesehatan gratis? Kalau benar demikian, kenapa ada kasus busung lapar di Kabupaten Nduga, di daerah Koroway-Merauke, dan penyakit “aneh” pada warga suku Mairasi di Kampung Kensi, Distrik Arguni Atas, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat belum lama ini.
“Tanggapan dari Pemerintah Indonesia melalui dua “juru bicaranya” yaitu Nara Massista Rahmatia (2016) dan Ainun Nuran (2017) ini sangat tidak up to date, tidak memiliki argumentasi hukum yang bisa dipertanggung-jawabkan serta tidak faktual karena tidak berbasis data yang benar,”kata Warinussy.
Sehingga ini akan makin “memperkuat” perjuangan rakyat Papua (OAP) dalam menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi sepanjang 50 tahun lebih di Tanah Papua akibat kekejaman negara Indonesia melalui aparat keamanannya dan tanpa penyelesaian secara hukum yang bermartabat.
“Saya ingin menghimbau agar Pemerintah Indoensia di bawah Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah saatnya mempertimbangkan untuk berdialog dengan rakyat Papua melalui ULMWP,” ujarnya.
Di pihak lain, kiranya Sekjen ULMWP dan sesama petinggi dan anggota serta pemimpin organisasi perjuangan rakyat Papua yang berkoalisi di dalam ULMWP sendiri perlu memahami dengan baik prosedur dan mekanisme hukum internasional yang mengatur tentang proses politik untuk memenuhi tuntutan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) yang berlaku universal di Majelis Umum PBB.
Sehingga tidak ada kesan dan pandangan yang cenderung skeptis dalam “memaksakan” segala proses menuju kepada sebuah tujuan akhir dari langkah politik ULMWP secara parsial dan bersifat by pass hanya karena ego pribadi para anggota di dalam ULMWP sendiri.
“Saya berpandangan bahwa tawaran pemerintah Solomon Island tentang dialog konstruktif untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Tanah Papua di bawah pengawasan dan mediasi PBB boleh jadi akan menjadi opsi yang kelak dipertimbangkan oleh Majelis Umum-nya,”ucap Warinussy.
Persoalannya tidak bisa dilihat dan dipaksakan oleh Indonesia maupun rakyat Papua melalui ULMWP dengan kemauannya sendiri-sendiri, tetap jelas akan dan harus mematuhi segenap prinsip dan standar hukum internasional yang berlaku secara universal.
Disamping itu, Warinussy membeberkan, pada September dan oktober 2017 di Indonesia khususnya tanah Papua mengikuti perkembangan informasi tentang hiruk pikuk aksi penyampaian pernyataan dan bantahan mengenai situasi dan kondisi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua pada level internasional setingkat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau the United Nations.
Perkembangan utama terjadi, ketika 4 (empat) Pemimpin dan diplomat dari negara Pasifik seperti Kepulauan Solomon (Solomon Island), Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta satu negara Karibia, yaitu St.Vincent and Grenadines.
Diplomat Solomon Island, Barret Salato pada sesi ke-36 pertemuan ke-18 Dewan HAM PBB (the United Nations Human Rights Council/UNHRC) di Jenewa, Swiss mengatakan, keprihatinan negaranya (Solomon Island) terhadap situasi masih berlanjutnya tekanan aparat polisi dan militer Indonesia terhadap rakyta Papua dalam melaksanakan hak mereka untuk berpendapat bebas, berkumpul dan berserikat secara damai.
Solomon Island juga mengemukakan keprihatinannya atas kebijakan transmigrasi serta buruknya kondisi pelayanan kesehatan di Tanah Papua, disamping pelanggaran HAM yang telah memicu penurunan (degradasi) jumlah (populasi) penduduk asli Papua yang drastis.
Sehingga jika PBB tidak bersikap segera, maka diprediksi populasi penduduk asli Orang Papua akan lenyap/punah dalam kurun waktu 40 tahun mendatang. Sebab itu, pemerintah negara Solomon Island menyerukan dialog konstruktif antara pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua (OAP) untuk menyelesaikan akar persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Mereka juga mendesak PBB melalui Majelis Umumnya di New York-Amerika Serikat, untuk mempertimbangkan pemberian hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua (OAP) atas dasar penghapusan kolonialisme di dunia dan pertimbangan terjadinya pelanggaran HAM yang berkesinambungan dan bisa berefek pada kepunahan salah satu etnis Melanesia terbesar di kawasan Pasifik.
Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin para pemimpin negara-negara Pasifik dan Karibia tersebut bisa memperoleh data-data akurat ? dan kemudian mereka bisa membuat pernyataan dengan landasan argumen yang kuat, guna mendesak PBB kepada tawaran mereka mengenai situasi HAM di Tanah Papua tersebut. (Free)