MANOKWARI, PapuaSatu.com – Yan Christian Warinussy, salah satu Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua yang pernah meraih penghargaan internasional HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 saya meminta Presiden Joko Widodo segera membuka ruang demokrasi bagi agenda pelurusan sejarah integrasi Tanah Papua.
“Permintaan ini didasari pada fakta hukum dalam resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Nomor 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969 yang nyata sama sekali tidak membahas dan atau membicarakan tentang status politik Irian Barat atau kini Tanah Papua saat itu,”ungkap Warinussy yang juga sebagai Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari melalui press releasnya, yang diterima PapuaSatu.com, Senin (23/04/2018).
Menurutnya bahwa, isi dari resolusi tersebut (2504) memuat 2 (dua) hal penting, yaitu pertama, mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal dan memahami dengan penghargaan pelaksanaan tugas oleh Sekretaris Jenderal dan wakilnya dipercayakan kepada mereka sebagaimana tercantum di dalam persetujuan antara Indonesia dan Belanda.
Point kedua, menghargai setiap bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui cara-cara lain kepada pemerintah Indonesia di dalam usaha-usahanya untuk memajukan perkembangan ekonomi dan sosial di Irian Barat (kini Tanah Papua).
Hal tersebut dikutip dalam buku Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat yang merupakan terbitan dari tesis strata dua dari seorang dosen jurusan antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih ( Fisip Uncen) bernama A.Ibrahim Peyon.
“Jadi jelas kedua point penting di dalam resolusi tersebut hanya membahas tentang hal mencatat laporan Sekretasi Jenderasl PBB melalui wakilnya tentang pelaksanaan act of free choice (tindakan pilihan bebas) yang oleh pemerintah Indonesia disebut dengan nama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera),”katanya.
Kemudian, lanjutnya, hal kedua merupakah penghargaan atas perjanjian mengenai pembangunan ekonomi dan sosial yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan dukungan dana dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank).
Di dalam muatan isi resolusi 2504 dengan demikian sama sekali tidak membahas atau memuat kalimat mengenai status politik Tanah Papua yang dahulunya (1969) disebut dengan nama Irian Barat atau Nederlandsch Nieuw Guinea oleh Belanda.
“Dengan demikian maka sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, saya mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mendorong dilakukannya dialog konstruktif dengan seluruh rakyat Papua di dalam dan di luar negeri mengenai agenda pelurusan sejarah integrasi bumi cenderawasih dalam tahun 2018 ini,”bebernya.
Untuk itu, kata dia, jal ini sangat penting dan berdasar hukum karena di dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua pada pasal 45 dan sebagaimana dirubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008 dimungkinkan melakukan dialog konstruktif tersebut dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Agenda pelurusan sejarah integrasi Papua penting dibahas oleh Presiden dan jajaran pemerintahnya dengan rakyat Papua dan semua komponen politik di dalam dan di luar negeri termasuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat dan Presidium Dewan Papua (PDP) maupun Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB),”aku Warinussy.
Pasalnya, ini sangat penting demi memulai gerakan perubahan dan pembangunan perdamaian tanpa kekerasan di Tanah Papua, sekaligus demi menjamin diakhirinya konflik sosial politik yang senantiasa berimbas pada terjadinya dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang korbannya senantiasa adalah rakyat Papua. [free]