Disebut Tidak Mengerti Adat Karena Angkat Kepala Suku Besar, Ini Kata Alex Doga

2836

JAYAPURA, PapuaSatu.com –  Setelah pada Hari Rabu (26/9/2018) mengukuhkan Pangdam XVII/Cenderawasi Mayor Jenderal TNI George Elnadus Supit sebagai Kepala Suku Besar untuk masyarakat Pegunungan Tengah Papua, Kepala Suku Besar Silo, Alex Doga mendapat kritik dari berbagai pihak yang merasa kurang setuju.

Sekedar diketahui, Rabu (26/9/2018), Pangdam XVII/Cenderawasi Mayor Jenderal TNI George Elnadus Supit mendapat kehormatan dengan dinobatkan menjadi Kepala Suku Besar Pegunungan Tengah Papua, oleh Kepala Suku Besar Silo, Alex Doga yang disaksikan 40 orang Kepala Suku dari Wilayah Pegunungan Tengah Papua  melalui prosesi adat.

Ada diantaranya yang mengatakan bahwa kepala suku Alex Doga  tidak mengerti adat Papua, dan ada juga yang menuding bahwa kepala suku tersebut telah menjual adat Papua.

Selain itu, juga ada yang menggalang suara lewat media sosial untuk mempengaruhi kepala suku yang lain untuk membuka meja adat dan menolak penobatan Pangdam selaku kepala suku.

Serta ada yang berusaha menggalang massa melalui medsos mengajak orang turun ke jalan menolak penyerahan lahan 90 hektar kepada TNI.

Atas reaksi-reaksi atau tudingan-tudingan tersebut, Kepala Suku Alex Doga menanggapi dengan santai.

“Ahhh itu mereka yang bicara-bicara miring bukan kepala suku, mereka yang tidak paham tentang suku di pegunungan Papua dan tidak mengerti sejarah,” ungkapnya.

Dijelaskan, bahwa gelar Kepala Suku Besar yang dianugrahkan kepada pangdam adalah simbol persaudaran serta kasih antara anak-anak adat pegunungan dengan TNI.

“Hal itu sudah berlangsung sejak dahulu kala, bukan hanya Pangdam kami kasih gelar kepala suku. Bahkan Presiden Sukarno pun juga diangkat kepala suku oleh orang tua kami dahulu,” tutur Alex Doga.

Di masa perjuangan Pepera, menurutnya, daerah pegununganlah yang pertama menyatakan kesetiaannya kepada NKRI.

Waktu itu para kepala suku pegunungan diantaranya ada Alex Doga, Kurulu Mabel, Ukhumiarek Asso dan lain-lain mendirikan Markas Pepera di Wamena yang sekarang menjadi gedung RRI Wamena.

“Mereka berikrar dan menyatakan bahwa wilayah pegunungan tengah adalah bagian dari NKRI,” tutur Alex Doga mengisahkan.

Diceritakan, saat itu para kepala suku pegunungan dipimpin oleh Silo Doga diundang oleh Presiden Sukarno ke istana merdeka di Jakarta dan mereka melaksanakan sumpah setia sebagai saudara dan mengangkat Sukarno sebagai kepala Suku Pegunungan Papua dengan cara tukar darah.  Konon katanya jempol/ibu jari Silo Doga dan Sukarno dilukai dan darahnya dicampurkan.

“Jadi darah Sukarno sudah menyatu dengan darah Papua. Itulah sebabnya nama Silo Doga digabung dengan nama Sukarno menjadi Silo Karno Doga sebagai simbol persaudaraan, kasih dan kesetiaan,” lanjutnya mengenang.

Jadi, menurutnya, anak-anak adat Papua tidak boleh durhaka pada leluhur.

“Kami anak-anak pejuang tetap berjuang untuk NKRI. Dulu di Wilayah Pegunungan tidak ada pemberontak, tidak ada angkat senjata. Itu baru-baru saja ada masuk pengaruh-pengaruh dari luar,” tandas Silo Doga membeberkan kisahnya.

Ditegaskan, bahwa ia memberi mandat kepada Pangdam sebagai kepala suku bukan berarti adat Papua hilang di Papua, tetapi adat Papua akan semakin besar sampai ke Jakarta, sampai ke Sulawesi atau kemanapun nanti Pangdam bertugas adat itu tetap dibawa.

“Sebagaimana Tuhan Yesus memberi mandat kepada murid-muridnya untuk mengabarkan Injil di luar Israel, bukan berarti Injil akan hilang di Israel tetapi pengkabaran Injil akan sampai ke pelosok dunia. Injil diturunkan oleh Tuhan Yesus dari Israel warna kulit putih rambut lurus tapi orang Papua kulit hitam rambut keriting boleh pegang Injil,” tutur Alex Doga melanjutkan.

Pangdam yang memiliki kulit dan rambut berbeda dengan orang Papua, lanjut Alex Doga, tapi secara hati dan jiwa telah jadi satu, sama-sama mau membangun Negara membantu mensejahterahkan rakyat.

“Meskipun mereka punya warna kulit sama dengan saya, rambut sama keriting tapi kalau jiwa kita tidak sama. Mereka selalu mau bikin kacau sedangkan kami selalu ingin damai agar bisa bangun Papua,” pungkasnya.

“Ingat Tuhan Yesus itu tidak mengajarkan perbedaan, Tuhan Yesus mengajarkan kasih dan damai, tidak melihat suku dan warna kulit tapi jiwanya sama. Kalian orang Papua mengaku pegang Injil tapi tidak mau menerima orang yang beda warna kulitnya dari kalian, itu durhaka pada Tuhan Yesus,” tegasnya lagi.

Disinggung masalah penyerahan atau hibah lahan kepada Kodam XVII/Cenderawasi, Alex Doga mengatakan bahwa yang diserahkan adalah hak ulayatnya, bukan punya mereka yang suka berbicara miring-miring.

“Lahan kami serahkan bukan kepada Pangdam pribadi, tapi kami serahkan kepada Negara untuk kepentingan Negara. Kami ingin segera dibangun markas ABRI (TNI) di Distrik Silo Karno Doga, untuk pengamanan dan utuk mensejahterakan Rakyat. Ini sudah terbukti dari sejak dulu ABRI selalu bantu rakyat, bangun jalan, bangun gereja, bangun sekolah, jembatan, bantu pertanian rakyat, mengajar anak-anak di sekolah dan lain-lain,” paparnya.

Dikatakan, bahwa  para kepala suku sudah melihat sendiri kondisi daerahnya, yang mana untuk membangun daerah pegunungan tengah sangat mebutuhkan peran TNI.

“Mereka yang suka ribut, komentar miring tidak pernah bantu rakyat sedikitpun, mereka makan dari uang Negara tapi mereka bikin kacau Negara,” ungkapnya dengan emosional.

Hal senada diungkapkan kepala suku sekaligus Kepala Kampung Habo Kologo yang mantan pimpinan TPN/OPM.

“Dulu saya berjuang, pernah lari sampai ke PNG. Tapi saya dapat apa? Itu omong kosong semua. Saya pikir di kampung saya punya tanah ulayat luas, lebih baik saya pulang bertani. Sekarang saya punya kebun jeruk luas, ada tanam nanas, hipere dan macam-macam,” ungkap Habo.

Habo pun berharap kepada orang Papua yang hidup di hutan yang hanya karena pengaruh negative dari orang-orang yang menyatakan diri sebagai OPM, untuk berhenti dan kembali ke kampong halamannya.

“Jadi kalian yang masih di hutan lebih baik segera turun dan bertani, itu senjata hanya membawa mati, orang lain mati kamu juga nanti mati karena senjata itu. Lebih baik ganti sekop dan linggis, itu membawa kehidupan. Gali tanah, tanam tanaman rejeki dari Tuhan akan tumbuh dari situ,” kata Habo menuturkan.

Diceritakan, bahwa ia telah menyerahkan tanahnya untuk dibangun gedung sekolah yang dibantu oleh para prajurit Kodim, dan ada 200-an anak yang bersekolah.  Namun terkendala dengan guru, yang kadang-kadang hanya satu orang, sedangkan guru lainnya hanya makan gaji tapi tidak mengajar anak-anak.

“Bruntung adik-adik dari Koramil, pembina desa yang suka datang mengajar, mereka tidak terima gaji tapi mereka bawa buku-buku bagi gratis ke anak-anak sekolah,” tuturnya dengan nada prihatin.

Bahkan dari Kodim juga membantu membangun kantor kampong maupun membangun gereja.

“Mereka kerja tidur di honey kami. Mereka tidak minta apa-apa kepada rakyat. Mereka bawa bama. Sebagian bama mereka masak sendiri bersama-sama dengan rakyat, sebagian lagi dibagi-bagi kepada warga,” lanjut Habo.

Saat ditanya kenapa guru malas mengajar di sekolah? Habo menjelaskan, hal itu karena tidak ada rumah yang mereka tinggal.

“Jadi kami minta kepada Bupati, Gubernur segera bangun rumah-rumah untuk guru, saya siapkan lahan. Datangkan guru ke sini untuk ajar anak-anak biar tidak bodoh. Adik-adik di Kodim siap bantu kerjakan, tidak usah serahkan kepada pengusaha nanti uang habis bangunan tidak jadi. Tapi kalau anggota Kodim mereka kerja tulus,” pungkasnya.[yat]