Caption Foto : Yan Christian Warinussy. (Free/PapuaSatu.com)
MANOKWARI, PapuaSatu.com – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menolak dengan tegas pernyataan pihak keamanan (TNI dan Polri).
Pasalnya, pemerintah Indonesia sangat tendensius dan tidak netral serta tidak faktual tekait peristiwa yang disebut sebagai penyanderaan warga sipil di Kampung Banti-Distrik Tembagapura-Kabupaten Mimika-Provinsi Papua dalam seminggu terakhir ini.
Hal tersebut semakin tidak jelas dan sangat tendensius dengan dugaan adanya upaya terselubung dari pihak tertentu yang mencoba membangun opini negatif.
Sebab sebagian besar masyarakat Indonesia di luar Tanah Papua dan dunia untuk memusuhi Orang Asli Papua (OAP) dan gerakan perjuangan damai yang selama 2 (dua) tahun terahir ini mendunia mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Tanah Papua.
“Sebagai salah satu lembaga advokasi HAM di Tanah Papua memperoleh informasi dari sumbernya di Tembagapura bahwa sesungguhnya masyarakat di Banti sama sekali tidak merasa mereka berada dalam kondisi disandera atau adanya penyaderaan terhadap diri mereka,” ujar Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy kepada PapuaSatu.com, Minggu (19/11/2017).
Menurutnya, hal itu sesuai pula dengan kutipan wawancara antara jaringan intertnasional Fairfax dari Australia dengan seorang pemimpin suku Amungme di Kampung Banti tersebut yaitu Jonathan Kibak.
“Kibak membenarkan bahwa dia dan warganya bersama orang non Papua disana sesungguhnya tidak disandera oleh siapapun,termasuk oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) atau yang disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjatra (KKB) oleh pihak keamanan selama ini di berbagai media nasional,”kata Warinussy.
Kata Warinussy, hal ini semakin menimbulkan pertanyaan kritis bagi kami selaku aktivis hak asasi manusia di Tanah Papua, karena semua informasi mengenai “dugaan” adanya “penyanderaan” tersebut hanya semata-mata berasal dari pihak keamanan (TNI-Polri) dan tidak pernah dapat diverifikasi oleh pihak lain.
“Pertanyaan kami, jika benar ada penyanderaan 1.300 warga sipil di kampung Banti, siapa yang melakukan penyanderaan? Sebab sebelum muncul kata “adanya penyanderaan” tersebut, publik di Tanah Papua, Indonesia dan dunia tidak pernah mendengar adanya pernyatan resmi dari pihak penyandera,”tanya Warinussy.
Warinussy membeberkan bahwa kenapa mereka menyandera begitu banyak warga sipil tidak berdosa? Untuk jaminan atau tuntutan apa mereka menyandera? Lalu kenapa tidak ada ultimatum mengenai batas waktu jika tuntutan kelompok penyandera tidak dipenuhi atau jika dipenuhi apa kompensasinya?
Lanjutnya, tidak pernah terdengar oleh publik di Tanah Papua, Indonesia dan dunia tentang ada negosiasi antara kelompok penyandera dengan pemerintah atau aparat keamanan sebelum terjadinya upaya “pembebasan sandera” tersebut.
Lalu kenapa hanya 344 orang warga sipil non Papua saja yang “dibebaskan”? Bagaimana dengan nasib hampir 1.000 orang warga sipil asli Papua di Kampung Banti, Utikini dan Kimbeli setelah atau pasca “drama pembebasan” 344 warga non Papua tersebut?
Siapakah yang menjamin keamanan dari warga asli Papua di kampung-kampung di sekitar Tembagapura-Kabupaten Mimika-Provinsi Papua tersebut dari kemungkinan mengalami kekerasan fisik maupun senjata api?
Persoalan lain adalah sejak terjadinya peristiwa penembakan yang telah membawa korban pada beberapa aparat Polri dan TNI serta karyawan PT.Freeport Indonesia Company.
Dimana hingga saat ini, pihak keamanan (TNI-Polri) dan perusahaan tersebut sama sekali tidak memberi akses bagi hadirnya jurnalis dari Tanah Papua dan dunia untuk melakukan investigasi pula dan atau ikut meliput dan melaporkan situasi yang terjadi di sekitar Tembagapura secara berimbang kepada publik lokal, nasional dan internasional.
Sehingga terkesan informasi dari lapangan (Banti dan sekitarnya) hanya berasal dari TNI-Polri semata dan sama sekali tidak ada informasi kedua (second information) dari pihak masyarakat sipil maupun rohaniawan dan pemerintah Provinsi Papua yang sudah memiliki otorisasi berdasarkan amanat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus.
Oleh sebab itu, LP3BH mendesak Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo selaku Kepala Negara dan Panglima TNI serta atasan tertinggi Polri untuk memerintahkan dihentikannya segenap model pendekatan keamanan yang dapat menimbulkan ekses buruk terhadap kondisi keamanan dan keselamatan segenap warga sipil Orang Asli Papua dan non Papua di Tembagapura dan sekitarnya.
Serta Presiden Jokowi dapat mengambil prakarsa untuk menyelesaikan segenap persoalan sosial-politik dan ekonomi serta konflik di Tembagapura tersebut melalui jalan damai yang nir kekerasan bersenjata.
Presiden harus mengambil prakarsa dalam kasus Tembagapura ini, karena tuntutan pihak yang selama ini dituduh dalam pemberitaan jurnalis nasional di Jakarta sebagai “penyandera” yaitu TPN-PB memiliki “tuntutan” tinggi yaitu akan berjuang untuk kemerdekaan Tanah Papua.
Hal ini jelas sebagaimana diutarakan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe bahwa yang bisa menerima dan membahas tuntutan Papua Merdeka adalah Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Pendekatan dialogis, lanjut Warinussy bahwa sudah saatnya dikedepankan oleh Presiden Jokowi dengan mendaya-gunakan 3 (tiga) orang person in charge (tokoh kunci) dialog yang sudah ditunjuk sendiri oleh Jokowi di Istana Merdeka-Jakarta, 15/8 lalu.
“ Mereka diantaranya Pater Dr.Neles Tebay, Wiranto dan Teten Masduki untuk mengambil peran dalam upaya penyelesaian konflik Tembagapura tersebut,”tandas Advokat dan Pembela HAM/Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada. (free/loy)