Dukung Gubernur Berantas Korupsi di Papua Barat

557

Direktur Eksekutif LP3BH : Penegak Hukum Harus Malu

MANOKWARI, PapuaSatu.com Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy mendukung Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan terkait upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Provinsi Papua Barat.

Menurutnya, desakan Gubernur agar para terdakwa atau terpidana tipikor yang sedang “berkeliaran” bebas di luar tahanan sesuai ketentuan hukum agar ditangkap dan ditahan, karena itu merupakan merupakan suatu “pukulan telak” kepada institusi penegak hukum di daerah ini, seperti pengadilan, kejaksaan dan kepolisian.

“Seharusnya sebagai sesama abdi hukum kita malu mendengar seorang Kepala Daerah setingkat Gubernur saja begitu peduli terhadap suksesnya upaya penegakan supremasi hukum di daerah ini,”kata Warinssy melalui press release yang diterima PapuaSatu.com, Kamis (5/10/2017).

Kata Warinuusy, sebenarnya, ketika seseorang terdakwa atau terpidana kasus tipikor ketika menjalani proses hukum, maka setelah mendapat vonis sesuai amanat Pasal 197 UU No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Dengan demikian maka hakim sebagai “pemberi putusan” perkara dan jaksa selaku “eksekutor” putusan sudah seharusnya memperhitungkan lamanya masa tahanan si terdakwa atau terpidana tersebut,”bebernya.

Sebut Warinuusy, hal Ini penting agar tidak terjadi seperti dalam kasus tipikor atas nama terdakwa Alberth Rombe dan Manobi yang saat hendak dieksekusi sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang sudah berkekuatan hukum tetap (incracht) justru yang bersangkutan tidak berada lagi di Manokwari.

“Dalam kasus lain, terhadap perkara-perkara tipikor, seharusnya hakim pengadilan negeri Tipikor Manokwari berhati-hati dalam memberikan “penangguhan penahanan” dan atau “pengalihan jenis penahanan” sesuai amanat pasal 31 dan pasal 23 KUHAP kepada terdakwa,”ujarnya.

Menurutnya, alasan-alasan permohonan penangguhan penahanan dan pengalihan jenis penahanan dari si terdakwa tersebut harus dicermati dengan seksama, karena jika terkait dengan soal kesehatan si terdakwa yang harus ditangguhkan atau dialihkan jenis penahanannya.

“Itu berarti si terdakwa yang bersangkutan harus menjalani perawatan secara medis dan dapat dibuktikan dengan keterangan dokter yang minimal ditunjuk oleh pengadilan,”katanya.

Lanjut dia, kemudian si terdakwa yang bersangkutan tidak secara bebas bisa beraktifitas di luar dan atau di tengah-tengah masyarakat, misalnya menjadi sopir, menjadi pengatur acara, menjadi juru foto (cameramen), menjadi pengurus kepanitiaan acara apapun, ataupun menjalani tugas rutinnya sehari-hari sebagai pegawai negeri sipil, tenaga honorer atau swasta seperti sebagai kontraktor.

“Ini tentu akan sangat menciderai esensi upaya penegakan hukum itu sendiri di Indonesia bahkan di Tanah Papua, khususnya di Manokwari dan Provinsi Papua Barat,”sebut Warinussy.

Untuk itu, kata dia, LP3BH Manokwari juga melihat fakta-fakta sepanjang tahun 2016 hingga menjelang akhir 2017 ini bahwa seringkali tahanan-tahanan perkara tipikor oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Manokwari saat dibawa ke pengadilan untuk disidangkan perkaranya.

“Para tahanan yang menyandang status terdakwa tipikor tersebut tidak dimasukkan ke dalam ruang tahanan di Pengadilan Negeri Manokwari, malahan mereka bisa bebas duduk bercengkerama dan bersenda-gurau dengan keluarga (istri,kekasih atau keluarganya) di depan ruang sidang atau sambil makan siang dan menikmati minuman hangat atau dingin di kantin milik Pengadilan,”kata dia.

Kemudian, kata Warinuusy, sementara pemandangan menyolok, para tahanan tindak pidana umum (pencurian,pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan atau narkoba) justru berdesak-desakan dan sesak dikumpulkan oleh petugas Kejari Manokwari di dalam ruang tahanan Pengadilan yang tersedia.

“Ini juga terjadi pada para tahanan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Sorong ataupun Fakfak yang tidak berdomisili di Manokwari, tapi mendapat status penahanan kota, malahan bisa tinggal di luar tahanan dan ada yang bisa pulang-pergi Manokwari-Sorong atau Manokwari-Fakfak  Manokwari untuk bersidang?,”tanya dia.

Warinussy mengemukakan, pertanyaannya, apakah hukum hanya tegas dan tajam untuk para terdakwa pidana umum, sementara yang terdakwa tipikor tidak? Apakah memang itu bagian dari Standar Operasional Prosedur (SOP) Kejari Manokwari, Kejari Sorong dan Kejari Fakfak?

Dikatakannya, fakta lain adalah ketika para terdakwa tindak pidana umum di bawa dari rutan atau lapas ke Pengadilan Negeri Manokwari, mereka diborgol dan dipakaikan rompi tahanan Kejari Manokwari dan dimasukkan dalam ruang tahanan pengadilan dan secara bergilir dikawal oleh anggota Brimob masuk ruang sidang dan kembali ke ruang tahanan dan dikawal lagi naik mobil tahanan kejaksaan ke rutan atau lapas.

“Sedangkan tahanan-tahanan tipikor justru bisa datang ke pengadilan dari rutan atau lapas dengan memakai kendaraan pribadi atau kendaraan dinas kejaksaan berplat nomor warna hitam ke dan pulang dari pengadilan negeri Manokwari,”tutur dia.

Ditambahkannya, bahkan mereka datang dan pergi dari dan ke pengadilan dengan tanpa adanya pengawalan, hal ini perlu dipertanyakan.

“Sebagai sesama abdi hukum dan bagian dari Catur Wangsa, saya ingin mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia di Jakarta melalui Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) serta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua melalui Asisten Bidang Pengawasan (Aswas),”sebutnya.

Dirinya juga barharap kepada Ombudsman Perwakilan Papua Barat untuk memantau dan mengambil tindakan tegas atas perilaku-perilaku “menyimpang” dari hukum maupun SOP seperti ini demi pemulihan Citra Penegak Hukum di Manokwari dan Provinsi Papua Barat.

“Sehingga tidak terkesan adanya suasana dan praktek diskriminasi dalam perlakuan dari aparat terhadap para terdakwa pidana umum dan pidana korupsi yang sebenarnya sama-sama memiliki sifat melawan hukum dan merugikan negara secara umum,”tandas Warinussy. (Free)