JAYAPURA, PapuaSatu.com – Komisi Pemberantasan Republik Indonesia terus melakukan monitoring evaluasi pencegahan korupsi terintegrasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.
Wakil Ketua KPK RI, Saut Situmorang mengatakan kehadiran KPK di Papua untuk mendorong adanya perubahan di Provinsi paling timur di Indonesia ini.
“Memang dalam undang-undang sebutkan seperti itu. Jadi bapak-bapak jangan tersinggung ketika kami cerewet, karena UU meminta kami untuk koordinasi, supervisi, monitor, pencegahan baru penindakan,” kata Saut Situmorang di Jayapura, Kamis (1/3/2018).
Dikatakan, kedepan ini KPK akan berada di Papua lebih intens karena lembaga pemberantasan korupsi ini tidak menginginkan pejabat Papua yang tersandung kasus korupsi dan OTT.
“Saya tidak berkinginan satu pun pejabat Papua bertemu dengan saya di KPK menyangkut soal korupsi dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan sekarang KPK tidak ada di daerah tapi kita bagi Indonesia menjadi 8 wilayah itu nanti ada orang yang pantau terus aktifitas pejabat Papua,” jelasnya.
Dijelaskan, meskipun operasi tangkap tangan (OTT) menuju angka 19, namun itu tidak merubah penilaian karena hal ini tidak menarik bagi orang asing. Justru yang menarik itu kata dia, setiap daerah membangun dengan kasih dan cinta mulai dari soal kebersihan, lingkungan, menghargai hak orang, sampai dengan penegakan hukum.
“Kalau ini tidak jalan mau OTT-nya sampai 500 pun Indonesia akan tetap 37, tapi cara ini tidak mungkin kami berhentikan, kalau kami punya bukti ya harus diproses dong,” ungkapnya.
Penjabat sementara Gubernur Papua, Mayjen TNI (Purn) Soedarmo mengharapkan supaya para pejabat yang berada di Provinsi Papua ini mulai dari eselon yang tertinggi sampai eselon terbawa jangan ada satupun yang nanti kena OTT.
“Saya yakin dan percaya bahwa seluruh pejabat baik itu Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dan seluruh pejabat di jajaran Pemerintah Provinsi Papua ini paham tentang itu dan diharapkan nanti dan selamanya sampai dengan pensiun aman dari penangkapan OTT KPK Republik Indonesia,” kata Soedarmo.
Menurutnya, korupsi di dunia di beri skala 1-100. Indonesia dimulai dari angka belasan sampai tahun kemarin (2017) 37, dan tahun ini (2018) juga diberi angka 37 padahal KPK bermimpi bisa mencapai angka 50 di 2019.
“Singapura dan Malaysia di beri angka 80, 50. Tapi tahun ini Indonesia tidak naik, ini diumumkan pada Kamis (22/2/2018),” ujarnya.
Sebelumnya ada delapan institusi yang menilai, tahun ini ada penambahan satu badan lagi. “Jadi sekarang yang menilai sembilan badan. Badan kesembiilan ini disebut Varieties Demokrasi, yang tugasnya menilai bagaimana Indonesia melaksanakan demokrasi, apakah sudah egaliter atau belum.
“Orang asing sangat detail memperhatikan ini, dan untuk bidang ini Indonesia diberi nilai 20, ini sangat rendah,” katanya. [Piet]