Pelaku Tindak Pidana Terorisme Layak Dihukum Mati

725

JAYAPURA, PapuaSatu.com Para pelaku tindak pidana terorisme di tanah air yang terus melakukan teror bom kepada masyarakat, seperti yang terjadi di tiga Gereja dan Markas Polresta di Surabaya, pada Minggu 13 Mei 2018 layak diberikan hukuman mati.

Aksi terorisme yang dilakukan di Kota Surabaya itu mengakibatkan sejumlah warga Kristen yang sedang beribadah meninggal dunia akibat Bom termasuk pengeboman Markas Polres Surabaya serta pembunuhan sadis bagi anggota Brimob kelapa dua.

Perbuatan keji yang dilakukan para teroris ini menjadi perhatian dari perwakilan Komnas HAM. Komnas HAM memandang bahwa  perbuatan terorisme masuk dalam kejahatan massif terhadap kemanusiaan, sehingga kejahatan mereka layak dihukum mati.

“Karena tindakan para teroris ini merupakan tindakan yang masuk dalam norma hukum kejahatan terhadpa kemanusiaan dan tindakan kejahatan massif maka mereka layak di hukum mati. Itu cara menekan tindakan kejahatan mereka,” tegas Ketua perwakilan Komnas HAM  Papua Frits  Ramandey.

Ia menegaskan, dirinya selaku perwakilan  pemerhatian kemanusiaan dan juga sebagai penatua di Gereja Maranatha Polimak I Kota Jayapura bersama-sama dengan seluruh warga Polimak dan seluruh umat gereja termasuk jamaah masjid melakukan pembakaran lilin sepanjang jalan Polimak kelurahan Ardipura, distrik Jayapura Selatan, pada Senin (15/5/2018) malam.

Aksi bakar lilin yang dilakukan, kata Frits, sebagai bentuk duka cita bagi umat Kristen yang sedang beribadah lalu kemudian menjadi korban Bom oleh teroris termasuk lima anggota brimob yang meninggal dunia. “Aksi kami juga sekaligus sebagai bentuk gugatan perlawanan atas perbuatan yang dilakukan teroris,” tukasnya.

Ia menegaskan bahwa dalam aksi bakar yang dilakukan seluruh masyarakat Polimak mengusung tema yakni Orang beragama anti teroris, dan warga di Ardipura memberikan dukungan serta mendukung kepolisian untuk melakukan tindakan dan menumpas Teroris sampai ke sel-sel.

Frits menilai tindakan teroris bukan gerakan yang harus dilawan dengan kontrak intelejen karena dia (Teroris) bukan gerakan intelejen, tapi teroris merupakan gerakan sel-sel yang berbaur kepada masyarakat, sehingga harusdiputuskan sel-sel tersebut agar tidak berkembang.

Kalau ada yang menjadi karbulator maka harus digarap dengan baik oleh TNI/Polri, BNPT untuk mengungkap seluruh jaringan mereka. “Tetapi fungsi intelejen itu tidak semua dikasih kepada instansi intelejen, karena teroris bukan gerakan intelejen, tapi fungsi intelejen harus diputus dan memotong sel-sel gerekan-gerakan mereka,” tukasnya.

Untuk itu, dirinya selaku pemerhati HAM di Papua dan juga perwakilan Gereja akan terus melakukan penggalangan untuk melawan bersama gerakan-gerakan teroris ditanah, sehingga siapapun dia dan sekecil apapun yang mencurigakan harus diputuskan.

“Kami berharap kepada warga masyarakat yang ada agar memberikan informasi bila ada gerak-gerik yang mencurigakan. Warga tidak boleh diam dan kita tidak bisa berharap kepada polisi dan tentara saja, akan tetapi kita perlu menggalang untuk melawan kejahatan. Sebab teroris bergerak untuk mengancam kemanusiaan,” pungkasnya. [loy]