MANOKWARI, PapuaSatu.com – Semangat Masyarakat Papua untuk mendirikan Partai Politik sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 pasal 28 hingga kini masih mencapai jalan buntut dan menjadi polmik di masyarakat baik melalui aksi-aksi, maupun melalui diakusi-diskusi tentang implementasi kebijakan Otsus di Papua.
Salah satu Advokat Senior di Papua, Yan Ch. Warinussy, S.H mengungkap polemik tentang Partai politik yang diamanatkan dalam undang-undang Otsus masih menjadi wacana yang diperdebatkan hingga kini.
Menurutnya, wacana tentang Pendirian Partai Politik sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang otsus masih menjadi polemik di Masyarakat Papua. Misalnya, Wacana Partai politik lokal yang didorong oleh teman-teman Partai Papua Persatu, manafsirkan bahwa Undang-Undang tersebut merujuk kepada Pendirian Partai Politik lokal.
“Dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 28, ayat (1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. (2) Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Dan (4) Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing,”jelas Warinussy kepada PapuaSatu.com, di Kantor LP3BH Manokwari, baru-baru ini.
Direktur LP3BH Manokwari ini menyebutkan, sudah jelas dalam undang-undang tersebut disebutkan Penduduk Provinsi Papua dapat mendirikan Partai Politik. Tatacara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam dalam pemilihan umum disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Itu artinya pendirian partai harus sesuai dengan undang-undang Partai politik.
Undang-undang partai politik mensyaratkan harus di dibukanya perwakilan partai politik di seluruh Indonesia. Kecuali dalam pasal tersebut ada frasa yang menyebutkan Partai politik lokal, maka hanya berlaku khusus di Papua saja.
“Tetapi saya memberikan apresiasi kepada teman-teman yang berinisitif mendirikan partai lokal di Papua. Dan hal itu harus ditanggapi oleh pembuat undang-undang untuk melakukan revieuw atas sejumlah pasal dan ayat dalam undang-undang otsus yang dinilai merugikan masyarakat Papua,”ucapnya.
Untuk itu, dirinya sudah mengusulkan kepada Guburnur Papua dan Papua Barat, DPRP Papua dan Papua Barat agar melakukan dialog lintas sektor dan melakukan kordinasi ke Kemendagri guna mencari solusi atas masalah tersebut. Kalau tidak akan menjadi masalah yang terus diperdebatkan dalam 3 kali pemilihan terakhir dan menimbulkan wacana miring terhadap implementasi otsus di Papua.
Sebut dia, di dalam undang-undang telah jelas menyebutkan tentang evaluasi Otsus. Evaluasi pertama sejak tiga tahun pertama dan dilakukan setiap Tahun. Namun hingga kini belum dilakukan evalausi.
Pada tahun 2016, MRP Papua Barat pernah melakukan evaluasi namun hasilnya hingga kini belum diketahui. Yang kita dengar selama ini, Kemendagri yang melakukan evaluasi.
Pertanyaan Kemendagri lakukan evaluasi atas dasar apa dan untuk kepentingan siapa. Seharusnya yang melakukan evaluasi adalah masyarakat Papua, Gubernur, DPRP, Papua dan Papua Barat, MRP dan berkordinasi dengan Kemendgari untuk evaluasi undang-undang tersebut.
“Harus dilakukan evaluasi sebagai dasar perubahan terhadap bagian-bagian yang dianggap merugikan atau belum terealisasi. Dan Pemerintah harus menganggarkan dana untuk melakukan evaluasi tiap tahun karena sudah ada rujukan evaluasi dalam Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001,”pungkas Warinussy.
Sementara Kasubdit Implementasi Kebijakan Politik, Direktorat Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Bangun Sitohang yang dikonfirmasi papuasatu.com melalui pesan whatsAp, Kamis (16/08/2018) mengatakan pihaknya sangat mendukung semangat masyarakat Papua untuk mendirikan partai politik, namun harus disesuaikan dengan aturan perundang-undangan.
“Saya meminta Masyarakat Papua untuk merevie kembali pasal 28 dari Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Tanah Papua agar jangan salah menilai bahwa Kemendagri melarang pendirian Partai politik atau usulan partai politik lokal di Papua,”sebut Sitohang.
Dia mengatakan, sesuai pembukaan UUD 1945 alenia IV pada intinya kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalan suatu UUD, artinya cara berpikir sebagai satu bangsa yang merdeka harus berdasar “regulasi atau aturan” bukan feeling atau kemauan tanpa pijakan konsitusional.
Dikemukakannya, mengani adanya keinginan teman-teman di papua dan papua barat untuk mendirikan partai lokal. Aspirasi itu ditinjau dari kebebasan mengemukakan pendapat atau ekspresi tetap dibenarkan dalam semangat konstitusi negara. Namun Pokok masalahnya adalah ketika aspirasi itu tidak ada perintah Undang-Undang Politik yang menjadi dasar hukumnya.
“Artinya kita harus sepakat memahami pijakan hukumnya. Jangan nanti saat disusun peraturannya menjadi polemik di masyarakat khususnya di Papua dan Papua Barat. Dalam hal mana terkesan selama ini pemerintah seolah-olah melarang padahal memang tidak ada dasar hukumnya,”ujar dia.
Dikatakan olehnya bahwa Seperti halnya Partai Lokal di Aceh, ada perintah di UU Aceh sedangkan di UU Otsus tdk ada perintah pembuatan parlok.
Dirinya menyampaikan bahwa sampai saat ini belum ada dasar hukum yang konstitusional untuk pendirian partai lokal di Papua dan Papua Barat. Kalau dipaksakan juga, itu artinya kita menegakkan sesuatu tanpa penyangga atau penahannya.
Semua proses politik sepatutnya kita dudukkan dengan regulasi agar rakyat semakin cerdas dan penuh keharmonisan. “Harus dilakukan revieuw terhadap pasal-pasal tersebut agar ada dasar pendirian partai dimaksud,”tutupnya. [free/loy]