MANOKWARI, PapuaSatu.com – Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat menolak dengan tegas keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia terkait Surat Keputusan (SK) tentang Penetapan Anggota Panwaslu Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Papua Barat.
Hal ini diungkapkan Ketua MRP Provinsi Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren saat ditemui PapuaSatu.com, di Manokwari, belum lama ini.
Menurutnya, penolakan SK Bawaslu RI tersebut karena Bawaslu RI tidak melibatkan atau tidak berkoordinasi dengan MRP, DPR, dan Gubernur di Provinsi Papua Barat dalam proses penetapannya.
Padahal, kata dia, khusus untuk MRP sebagai lembaga kultur di wilayah Papua Barat sudah melayangkan surat kepada Bawaslu RI dan diterima oleh Sekjend.
“Ya, setidaknya Bawaslu RI sebelum mengambil keputusan harus menghubungi kami. Dimana sebelum mengambil langkah untuk menetapkan anggota maupun ketua Bawaslu kabupaten dan kota, Ketua Bawaslu RI melalui provinsi menghubungi kami,” ujar Maxsi Nelson Ahoren.
Namun, Ahoren menyebutkan, sampai dengan terjadi penetapan Bawas RI melalui Bawaslu Provinsi tidak ada koordinasi sama sekali. Padahal, MRP sudah melayangkan surat langsung ke Bawaslu RI melalui Sekjend.
“Ada tiga hal kami sampaikan, yang pertama itu Ketua Panwaslu harus orang asli Papua. Kedua, ketua maupun anggota adalah orang-orang yang tinggal di daerah tersebut dan asli dari daerah itu. Kenapa hal itu dilakukan, karena hari masyarakat sudah tidak percaya kepada Panwaslu,” sebut dia.
Dikemukakannya, kenapa MRP mendorong orang asli setempat yang harus menduduki ketua maupun anggota, supaya apabila terjadi hal-hal yang mengganggu saat terselenggaranya pemilu di daerah tersebut dapat diatasi dengan cepat, karena yang bersangkutan orang asli setempat.
“Minimal orang tersebut tahu bahasa daerah disitu, menguasai Dapil-Dapil yang ada di kabupaten itu. Tapi ini kan orang yang dikasih masuk tidak tahu sama sekali, karena bukan orang dari kabupaten tersebut. Banyak orang-orang dari luar dan hal ini kami sudah langsung menyurati Bawaslu RI untuk segera disikapi,” katanya.
Dia juga meminta kepada Bawaslu RI agar menghentikan SK tersebut untuk kembali dibicarakan, karena banyak masyarakat di daerah setempat yang tidak diakomodir menjadi anggota maupun ketua Bawaslu.
“Itu orang luar semua, bahkan itu orang-orang yang tidak tahu tentang adat istiadat setempat, karena mereka bukan orang dari daerah itu dan kami sangat sayangkan hal tersebut. Nah, apabila sudah terjadi seperti ini, maka yang nanti disoroti adalah MRP, DPR, Gubernur. bukan Bawaslu, maka harus dipahami,” tegasnya.
Maka, diriya menilai bahwa dengan terjadinya hal-hal seperti ini membuat masyarakat asli melakukan terus menyoroti MRP, DPR, Gubernur.
“Ini selalu diabaikan, baik KPU maupun Bawaslu tidak pernah berkoordinasi denganMRP, DPR, dan Gubernur saat mengambil keputusan dalam menepatkan orang. Apapun yang terjadi sudah waktu ini kita menjadi tuan dinegeri sendiri,”tandas Maxsi Nelson Ahoren. [free]