Bersatu Dalam Perbedaan, Memeliharan Huhungan Intern dan Antar Umat Beragama di Kampung Moderasi Beragama

245
Tiga rumah ibadah (Masjid Agung Al-Aqsha Sentani, Gereja Katolik Sang Penebus Sentani, dan GKII Ebenhaezer Sentani yang saling berhadapan.(foto : Jainuri)
Tiga rumah ibadah (Masjid Agung Al-Aqsha Sentani, Gereja Katolik Sang Penebus Sentani, dan GKII Ebenhaezer Sentani yang saling berhadapan.(foto : Jainuri)

Hubungan yang sangat erat dan seakan menjadi satu keluarga, terjalin antara umat beragama di Kota Sentani, Ibukota Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, khususnya di kawasan berdirinya tiga rumah ibadah yang berbeda, dan saling berdekatan.

Yaitu Masjid Agung Al-Aqsha Sentani, Gereja Katolik Sang Penebus Sentani dan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Ebenhaezer Sentani.

Di kawasan tersebut, menjadi tempat yang mewakili kawasan Indonesia Timur pada lounching Kampung Moderasi Beragama Tahun 2023 oleh Kementerian Agama RI pada 26 Juli 2023.

Sebagaimana dikutip dari lama kemenang.go.id, “Dalam konteks aqidah dan hubungan antar umat beragama, moderasi beragama (MB) adalah meyakini kebenaran agama sendiri “secara radikal” dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka, tanpa harus membenarkannya.”

Dalam tulisan ini, lebih menceritakan hubungan antara Pengurus Masjid Agung Al-Aqsha Sentani dengan Pastoral Gereja Katolik Sang Penebus Sentani, karena posisinya yang saling berhadapan dan sama-sama sedang mengerjakan pembangunan.

Pater Bruery Renyaan OFM
Pater Bruery Renyaan OFM

Sebagaimana diceritakan Pastor Bruery Renyaan,OFM, yang sudah empat tahun lebih dipercaya sebagai pastor di Gereja Katolik Sang Penebus Sentani, bahwa kerja sama sudah terjalin cukup lama, bahkan sebelum ia mendapat tugas pelayanan di gereja tersebut.

Dikatakan, ia bersama tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Jayapura cukup solid dan sering melakukan diskusi.

“Kita di dalam FKUB, yang didalamnya ada PGGJ, MUI, dan lain-lain, ini solid sekali,” ungkapnya saat ditemui awak media ini di pastoral tempat tinggalnya.

Dikatakan, ada 11 tokoh agama yang masuk dalam FKUB Kabupaten Jayapura, yakni dari Kristen tiga orang, katolik tiga orang, Islam tiga orang, hindu satu orang dan budha satu orang.

Pater Bruery, demikian panggilan akrabnya, selalu mengimbau bahwa perbedaan suku, agama, ras dan golongan adalah hal yang mutlak.

“Jadi bagaimana umat ini bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ada itu, lalu dari perbedaan itu kita lebih menekankan nilai manusia yang diajarkan dalam semua agama itu,” ujarnya.

Menurutnya, untuk hubungan dengan pengurus Masjid Agung Al-Aqsha Sentani yang berada tepat berhadapan dengan Gereja Katolik Sang Penebus Sentani tempat pelayanannya, terjalin sangat baik.

Diceritakan, bahwa gereja tempat pelayanannya yang saat ini sedang proses membangun, tèlah banyak menerima bantuan, baik materil maupun non materil dari pengurus Masjid Agung Al-Aqsha Sentani.

“Kami sekarang di Katolik itu setiap bulan itu ada buat paguyuban yang datang untuk memberi sumbangan bantuan untuk gereja. Nah itu bukan hanya orang Katolik di situ, orang Protestan, Islam juga ada di dalam, sama-sama datang. Dari masjid sebelah ini (Al-Aqsha Sentani) datang terus ke sini,” ceritanya.

Demikian juga sebaliknya, bila ada kesempatan, pihaknya juga datang membantu ke Masjid Agung Al-Aqsha Sentani.

Bahkan dalam pembangunan gereja, orang yang kerja listrik, marmer dan sebagian tukang yang kerja membangun Masjid Agung Al-Aqsha Sentani juga mengerjakan bangunan di Gereja Katolik Sang Penebus Sentani.

Kalaupun tidak sempat membantu langsung, para tukangnya bersedia memberi rekomendasi untuk alat atau bahan yang berkualitas serta ditunjukkan tempat mendapatkannya.

Marmer yang dipakai di Masjid Agung Al-Aqsha Sentani diambil dari H. Sukur di Tulungagung, Jawa Timur, dan sekarang marmer yang sama dipasang di gereja Katolik Sang Penebus Sentani.

“Jadi kami merasa bahwa kita hidup bertetangga ini sangat baik dan selalu kita jaga baik,” tegasnya.

Kerja sama tersebut sangat terlihat terutama saat hari raya, dengan saling menyediakan lahan parkir, dan mengatur arus lalu lintas serta menjaga keamanan lingkungan sekitar.

Hal demikian, kata Pater Bruery, merupakan praktek moderasi beragama yang sebenarnya sudah sangat lama ada.

Pelihara Hubungan Tanpa Memandang SARA

Ketua MUI Kabupaten Jayapura Periode 2016-2021, Dr. Tri Mulyadi,SH, M.Kn, yang juga selaku Penasehat Takmir Masjid Agung Al-Aqsha Sentani mengungkapkan perlunya upaya menjaga hubungan yang harmonis tanpa melihat latar belakang Suku Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

Dr. Tri Mulyadi,SH, M.Kn
Dr. Tri Mulyadi,SH, M.Kn

Saat disinggung soal hubungan pengurus Masjid Agung Al-Aqsha Sentani dengan pihak Gereja Katolik Sang Penebus Sentani, dikatakannya bahwa ada istilah yang muncul, yakni “Satu jantung dua denyutan”.

“Ini diartikan bahwa walaupun kita beda agama tapi kita sudah punya komitmen dan bekerja sama secara baik,” ungkapnya.

Salah satu bentuk kerja sama tersebut yakni Takmir Masjid Al-Aqsha Sentani meminta jadwal-jadwal ibadah.

Sehingga, jika ada kegiatan ibadah di waktu yang bertepatan dengan waktu adzan, maka adzan dilaksanakan dengan speaker dalam masjid saja.

Dan bila tidak ada kegiatan ibadah di gereja, maka adzan menggunakan speaker luar.

“Itu karena adzan menjadi bagian dari syiar islam,” jelasnya lagi.

Hal itu, kata Tri Mulyadi yang merupakan Ketua Pengurus Muhammadiyah Kabupaten Jayapura, itu tidak menjadi masalah, karena telah diicarakan semua.

Bahkan, ia menceritakan hal yang sama sebagaimana diceritakan Pater Bruery, bahwa pada hari-hari tertentu, seperti hari raya Natal atau acara-acara yang membutuhkan lahan parkir lebih luas, jemaat gereja dipersilahkan parkir di halaman masjid.

Demikian juga sebaliknya, saat jamaah masjid membutuhkan lahan parkir, juga dipersilahkan parkir di halaman gereja.

Demikian juga terkait pengaturan kendaraan, terutama saat masuk dan keluar ke jalan raya, serta masalah keamanan, selain aparat kepolisian, remaja masjid dan remaja gereja saling membantu untuk siaga.

Hubungan Antar Umat, Antar Agama dan Antar Anak Bangsa

H. Saiful Islam Alpayage,S.HI selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua menegaskan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis.

H. Saiful Islam Alpayage,S.HI
H. Saiful Islam Alpayage,S.HI

Sebagai organisasi pemersatu umat, baik internal maupun eksternal, MUI yang dikomandoinya, bekerja untuk menjaga ukhuwah islamiyah atau persaudaraan antar umat Islam, dan ukhuwah diniyah atau persaudaraan antar umat beragama, dan ukhuwah wathoniyah atau persaudara.

“Itu adalah hal yang wajib dipertahankan, diperjuangkan, dilindungi dan dijaga oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari pusat, propinsi sampai kabupaten,” tegasnya.

Tentang peran MUI, kata Ustad Payage sapaannya, juga untuk bagaimana bisa memberi manfaat bagi umat.

“Persoalan-persoalan keumatan, persoalan-persoalan kebangsaan, persoalan-persoalan ini bagaimana MUI bisa hadir menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh seluruh umat, manusia, terutama umat Islam,” pungkasnya.

Perekat Persatuan

Unsur pemerintah yang dalam hal ini selaku Aparatur Sipil Negara (ASN) juga dituntut menjadi perekat persatuan dan kesatuan dalam bermasyarakat.

Sebagaimana dikatakan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jayapurq, Pdt. Steven Alexander Wonmaly, S.Sos, MAP, bahwa ia berupaya membentuk mindsett (cara berpikir) ASN agar mampu menjalankan tiga fungsinya, yakni sebagai pelayan publik, sebagai pelaksana kebijakan publik dan sebagai perekat persatuan bangsa.

“Jadi tiga fungsi itu ada di sini, dan ASN-ASN kita mari kita coba bangun itu,” ungkapnya.

Pj. Bupati Jayapura, Triwarno Purnomo,S.STP, M.Si bersama pejabat lain saat berada di Pondok Rukun yang terletak di sudut depan Kantor Kemenag Kabupaten Jayapura usai peresmian.
Pj. Bupati Jayapura, Triwarno Purnomo,S.STP, M.Si bersama pejabat lain saat berada di Pondok Rukun yang terletak di sudut depan Kantor Kemenag Kabupaten Jayapura usai peresmian.

Salah satu upayanya, adalah membangun satu tempat atau pondok yang dinamakan Pondok Rukun.

“Pondok RUKUN ini adalah Rumah Utama bagi Keharmonisan Umat yang Nyaman (RUKUN),” jelasmya.

Hal itu dengan harapan dapat menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh di masyarakat, terutama tokih agama agar dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmoni.

Sehingga, Kabupaten Jayapura bisa menjadi satu rumah besar yang dalam bahasa Sentani disebut “Obhe”,

“Di obhe itu kan fungsinya untuk masyarakat,” ceritanya.

Di obhe yang bila di sebuah desa dikatakan balai desa, merupakan tempat pertemuan para tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.[AHMAD JAINURI – Jurnalis Media Online PapuaSatu.com]