JAYAPURA, PapuaSatu.com – KPU Provinsi Papua mensosialisasikan Petunjuk Teknis (Juknis) sistem Noken dalam Pemilu 2019 nanti.
Sosialisasi Juknis tersebut dihadiri oleh seluruh perwakilan partai politik, Kesbangpol Provinsi Papua, DPD, DPW, juga tim sukses Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Ketua KPU Provinsi Papua, Theodorus Kossay mengatakan, ada dua sistem yang terjadi pada Provinsi Papua saat ini, khusus sistem noken didukung oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)dan peraturan pemerintah.
“Pemungutan suara di Papua ada dua model, pertama adalah one man one vote dan kedua sistem noken. Yang belum tersosialisasi adalah sistem noken, tidak semua distrik mengunakan one man one vote,” katanya saat sosialisasi di Kantor KPU Provinsi Papua, Senin (8/4/2019)
Ia memaparkan, berdasarkan keputusan MK nomor 48 & 81 pemungutan suara noken di Yahukimo di ikuti beberapa Kabupaten, serta amandemen 14b berisikan mengenai satuan masyarakat memiliki adat istiadat.
“Dan di peraturan pemerintah nomor 28 pengakuan pemerintah atas Hukum adat istiadat, 28b menjadi fokus keputusan MK pemungutan suara berdasarkan Sistem Noken diperbolehkan di Papua,” paparnya.
Theo juga mengungkapkan ada 12 kabupaten yang masih menggunakan sistem noken.
“Wilayah Lapago yaitu Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Lanny Jaya, Tolikara, Puncak, Puncak Jaya dan Kabupaten Nabire. Dan wilayah Meepago yaitu Intan Jaya, Paniai, Dogiai dan Deiyai,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Provinsi Papua, Metusalak Infandi menjelaskan kondisi sistem Noken tahun lalu sempat menjadi perdebatan. Pengalaman tersebut merupakan catatan penting untuk pelaksanaan pemilu serentak 2019 ini.
“Berkaca pada pengalaman tahun 2018 Juknisnya ada tapi tidak sejalan dengan yang ada tertulis dalam Juknis, latihan lain, main lain,” jelasnya.
“Ada yang berangapan noken adalah pengganti kotak suara, tidak melibatkan pemilih tetapi diwakili oleh kepala suku, atau beberapa orang. Dan pada saat di MK semuanya terbuka, legalitas kepala suku di perdebatkan, ini yang jadi permasalahan, ada masyarakat tidak mengakui legalitas kepala suku, hal ini menjadi catatan,” tambahnya.[ayu]