Izaach Rumsarwir Minta Keadilan Bagi Masyarakat Adat Terkait Kepemilikan Hak Wilayat

14

JAYAPURA, PapuaSatu.com – Tanah adat yang berlokasi di pantai Hamadi dibelakang LMA Port Numbay sedang dalam sengketa.

Izaach Rumsarwir, sebagai pihak pemilik tanah yang bersengketa tersebut mengatakan lokasi tersebut ada dua kepemilikan. “Kira sudah coba mediasi di polsek Jayapura Selatan, dari kepolisian kita bersama pengacara bapak Gustaf Kawer. Dan dari kepolisian minta kita selesaikan secara adat,” katanya kepada awak media di kantor DAP, Jumat (6/11).

Ia sudah bertemu Dewan Adat Tobati-Enggros tapi sampai saat ini masih dalam persoalan sehingga ia minta bantuan pada Dewan Adat Papua (DAP). Akan tetapi dalam proses penyelesaian, ada pengusaha berinisial RD mengambil ahli salah satu lokasi.

“Padahal kita lagi mediasi dalam penyelesaian secara keluarga, RD ambil ahli dan melakukan pemagaran, hanya ambil secara sepihak,” ungkapnya.

Menyikapi hal itu, Kepala Kantor DAP, Ferdinand Okoseray menegaskan terkait regulasi yang tidak berpihak pada rakyat. “Diwilayah laim di NKRI ini, selain UUD 1945, ada UUD Pokok Agraria. Itu Pemerintah bisa aplikasikan kedalam Perda sehingga bisa menolong rakyatnya, bisa melindungi rakyatnya,” tegasnya.

Tetapi, menurut Ferdinand, di Papua tidak ada pengaplikasian perda tersebut. “Hari ini kita mau jual tanah di Port Numbay seperti jual kue saja, tidak ada perlindungan dari Pemerintah. Bisa beli online, langsung datang pagar. Masyarakat Pribumi harusnya dilindungi,” ujar Ferdinand.

Ia tambahkan, ini sebenarnya masalah keluarga, maka ia  berharap polisi bisa undang semua pihak terkait untuk diselesaikan karena harus ada bantuan hukum.

Sementara itu, Pimpinan DAP, Weynand Watori berencana mengundang pihak terkait bersama pengacara agar pengacara bisa menjelaskan posisi hukum dari status kepemilikan tanah agar penyeselesaian bisa adil.

“Tapi kami mendengar sudah ada langkah-langkah yang diambil oleh pembeli. Semua situasi ini terutama dengan munculnya jembatan Youtefa seperti membuka proses percepatans sehingga orang mengesampingkan masyarakt adat. Masyarakat adat seperti diinterfensi dgn kencang, aparat juga seperti ikut dilibatkan dan diperalat kemudian menabrak hak-hak dari masyarakat adat,” pungkasnya.

Ia minta, masyarakat pribumi harus jadi tuan dari tempatnya sendiri. “Kami akan proses. dan akan dipercakapkan dalam pleno bersama dewan adat, mungkin 10 tahun mendatang, masyarkat adat tidak akan punya tanah. Kita minta semua pihak hormati maysarakat adat, mestinya ada etika dalam berbisnis,” tutupnya. [ayu]