JAYAPURA, PapuaSatu.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mengaku penyelesaian kasus pelanggaran HAM Papua sangat lamban jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM di Provinsi Aceh.
“Jadi, kita lihat penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua sangatlah lamban jika dibandingkan dengan tempat lain, misalnya di Aceh,” kata Aktivis LBH Papua, Ichal dalam keterangan persnya di Jayapura, Jumat (23/11/2018).
Menurut Ichal, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di tanah Papua merupakan sebuah komoditi “molek” atau cantik karena menjadi kepentingan pribadi kelompok tertentu.
Jika dilihat dalam putusan atau semacamnya, sebenarnya negara tidak mendapatkan sanksi yang terlalu berat juga secara administrasi dan pidana, hanya perlu mengganti kerugian serta beberapa rekonsialiasi juga pemintaan maaf.
“Hal itu tidak terlalu berat tapi agak sensitif, namun negara juga terkadang tidak memiliki kemauan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM seperti ini,” ujarnya.
Apalagi terkait penyelesaian pelanggaran HAM selama pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua, dari hak-hak dasar warga negara terkait dengan pemberlakuan secara adil dan manusiawi, masih sangat rendah dan jauh dari pelaksanaannya.
“Misalnya saja beberapa kasus korban pelanggaran HAM di Papua tersebut hingga kini dari tahun 90-an belum ada yang sampai ke tingkat penyidikan maupun sampai ke proses-proses hukumnya,” jelasnya.
Dia menambahkan sehingga sikap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua yang belum lama ini menolak menghadiri pembahasan pelanggaran HAM di Jakarta, dirasa sudah sangat tepat karena biasanya kasus-kasus tersebut jika sudah sampai di pusat akan “stagnan” atau jalan di tempat.
“Konteks penolakan Pemprov Papua belum ini, saya sangat setuju dan itu merupakan satu kemajuan yang harus dilakukan, penyelesaian kasus HAM biasanya jika sudah sampai di jajaran atas maka akan ‘mentok’ karena pusat tidak berani menyelesaikan secara tuntas juga membuka diri,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Papua menolak undangan Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia secara tertulis dengan tembusan Presiden Ir. Joko Widodo.
Sekretaris daerah Provinsi Papua, T.E.A. Hery Dosinaen, S.IP.,MKP.,M.Si mengatakan penolakan undangan Kemenkum HAM terkait dengan rapat pembahasan penanganan dugaan pelanggaran HAM bersama pemerintah pusat di tanah Papua pada 9 November 2018 di Gedung Direktorat Jenderal HAM, Kemenkum HAM, Jakarta.
“Kalau berbicara dugaan pelanggaran HAM, mari semua datang di Papua. Bahas dengan pihak terkait seperti masyarakat, lembaga DPRP, MRP, maupun pemangku kepentingan di kabupaten,” kata Hery Dosinaen di Jayapura, Rabu (7/11/2018).
Sekali lagi, kata Sekda, pembahasan masalah pelanggaran HAM harusnya bicara di tanah Papua bukan Jakarta. “Jadi, lagi – lagi kalau bicara HAM harus di Papua bukan Jakarta, setelah semuanya duduk sama-sama baru disimpulkan,” ujarnya.
Masalah draft Pergub penangaan dugaan pelanggaran HAM di Papua dibuat secara sepihak oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia tanpa melibatkan Pemprov maupun masyarakat Papua.
“Lucunya lagi dan sangat disayangkan bahwa nantinya konsekuensi pembiayaan kepada korban pelanggaran HAM, mesti bersumber dari dana Otsus. Ini yang kami tidak mau,” kata sekda.
Isu dalam draft Pergub itu, kata Sekda, salah satunya mengamanatkan Pemprov membentuk tim penanganan dugaan pelanggaran HAM di Papua, hanya menangani kejadian di Wamena pada 2003 dan Paniai 2014.
“Kejadian pelanggaran HAM di Papua ini banyak. Bukan di dua tempat itu saja. Sehingga ini berpotensi membuat konflik baru bagi masyarakat di Papua, sehingga kita harap Kemenkum HAM lebih berpihak kepada Papua dan rakyatnya terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM diatas tanah ini,” jelasnya. [piet]