Pandangan Yan Warinussy dan Ijie Terkait Fraksi Otsus Dinilai “Pembohongan Publik”

1491
Yan Yoteni
Yan Yoteni

MANOKWARI, PapuaSatu.com – Ketua Fraksi Otonomi Khusus (Otsus) DPR Papua Barat, Yan Yoteni menilai pandangan tokoh politik dan praktisi hukum tentang Fraksi dan pencalonan anggota DPR Fraksi Otsus masih sepenggal-sepenggal dan terkesan “pembohongan public”.

“Seperti pandangan saudara Jimmy DIjie dan Yan Warinussy. Kami anggap bahwa itu sah-sah saja, karena setiap warga negara miliki ruang untuk berekspresi mengeluarkan pendapatnya, selama pendapat tersebut tidak mengkaburkan atau berisi tentang pembohongan publik,”katanya kepada wartawan, di Manokwari, Senin (10/09/2018).

Namun, menurut Yoteni, apabila pandangan tersebut adalah pengkaburan atau berisi tentang pembongan publik maka sangat disayangkan. “Putusan mahkamah konstitusi (MK)116 itu adalah bukan merupakan perjuangan Yan Warinussy sebagai praktisi hukum,”tegas Yoteni.

Ia menjelaskan, MK 116 adalah perjuangan barisan merah putih (BMP) bersama Ramses Ohe, Yohanes Nusi, Sahaji Refideso. Mereka inilah yang mengerti, karena memang mereka yang melakukan gugatan ke MK terkait pasal 6 ayat 2 yang berbunyi anggota DPRP adalah dipilih dan diangkat.

“Nah, yang diangkat ini ada dimana dan kenapa tidak pernah ada. Sejak pileg tahun 2004 seharusnya sudah diangkat, tetapi tidak sampai masuk tahun 2009-2014 juga tidak ada,”jelas Yoteni.

Yoteni menyebutkan bahwa BMP dan beberapa orang lainnya mereka menggugat di MK dan salah satunya yang ditanyakan adalah kursi Otsus.

“Tapi rupanya dalam persidangan MK waktu itu, gugatan teman-teman ini menang. Kenapa mereka menang, karena dalam penelitian MK rupaya selama 2004 sampai dengan 2014 kursi pengangkatan di caplok oleh partai politik,”jelasnya.

Lanjut dia, dikelurkannya afirmasi politik yakni pertama Provinsi Aceh  membentuk partai politik lokal. Sedangkan Provinsi Papua dan Papua Barat segera membentuk Perdasus untuk melaksanakan pasal 6 ayat 2 tersebut.

“Pertayaannya, bagaimana dengan yang sudah duduk saat ini dari 2009-2014, kalau kursi dikembalikan bagaimana. Nah, MK berpikir bahwa tinggal satu tahun yaitu 2013 berakhir. Maka disitu ada isi yang namanya Enmalik yang artinya berlaku sekali,”tutur dia.

Lebih jauh dijelaskan bahwa, terkait Enmalik atau berlaku sekali ini tidak bisa diterjemahkan leterlek atau gramatikal, tetapi harus runut artinya harus diterjemahkan sesuai sejarahnya.

“Sejarahnya itu ada karena sebelumnya ada terjadi pencaplokan. Jadi pencaplokan ini terjadi hanya satu kali ini saja dan tidak boleh lagi terjadi. Setelah Perdasus dibuat harus kembali normal artinya kursi pengangkatan itu harus di akomodir dan itu yang dimaksudkan bukan berarti masuk satu bulan terus satu bulannya tidak,”ucap Yoteni.

Tetapi, Yoteni mengemukakan, jika memang fraksi otsus saat ini tidak diakomodir lagi, maka kenapa MK tidak memutuskan. Misalnya pasal 6 ayat 2 dihapus, tetapi tidak ada sama sekali bahasa seperti itu dalam putusan.

“Jadi kita tidak mengambil satu kata panggal ini, kemudian mencaplok dan menerjemahkan ikut pikiran sendiri. Tetapi harus runut atau dari atas sampai kebawa hingga lahirnya itu seperti apa,”katanya.

Oleh sebab itu, sebut dia, sangat disayangkan seorang praktisi hukum memberikan pernyataan yang menurut pihaknya bahwa itu adalah pembohongan publik.

“Kami dalam waktu dekat akan meminta kepada MK, untuk menjelaskan lewat surat apa arti dari Enmalik itu. Biar semua orang tahu dan tidak semua orang menerjemahkannya menurutnya sudut pandang masing-masing,”beber Yoteni.

Tak hanya itu, Yoteni juga sesalkan kenapa sampai pandangan ini dikeluarkan oleh Jimmy Ijie dan Yan Warinussy yang adalah orang asli papua (OAP).

“Ketika mereka dua berpandangan seperti itu, lantas selama Yan Warinussy membawa aspirasi pelanggaran HAM ke DPR Papua Barat, kami Fraksi Otsus yang terima. Ini kan sangat disesalkan,”tandas Yoteni. [free/loy]