SENTANI, PapuaSatu.com – Pihak Bandar Udara (Bandara) Sentani menyarankan kepada para pendemo yang menamakan dirinya sebagai pemilik ulayat atas tanah besluit yang digunakan sebagai landasan pacu pada Bandara Sentani yang menuntut ganti rugi atas tanah besluit seluas 44 hektar are (Ha) untuk menempuh jalur hukum guna memenuhi tuntutan ganti rugi atas tanah besluit tersebut.
Kepala Bandar Udara (Kabandara) Sentani, Antonius Widyo Praptono mengatakan, pihaknya tidak mungkin membayar kembali ganti rugi terhadap tanah besluit yang saat ini digunakan sebagai landasan pacu pada Bandara Sentani.
“Sebagai pemerintah, kami tidak mungkin membayar ganti rugi untuk obyek tanah yang sama. Apalagi untuk tanah yang merupakan peninggalan Belanda atau tanah besluit,” ujar Kabandara Antonius Widyo.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa semua tanah besluit atau tanah yang telah ditinggalkan oleh Belanda kepada Indonesia pada kala itu, sepenuhnya menjadi tanah milik Negara.
Tanah-tanah seperti itu, kata Kabandara Antonius Widyo, terdapat bukan hanya di Papua saja. Tetapi, juga terdapat diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang mana, diatas nya berdiri berbagai macam bangunan-bangunan untuk melakukan pelayanan publik dan berdirinya fasilitas umum.
Ia pun menegaskan, jika merunut kebelakang mengenai sejarah tentang perjuangan masyarakat pemilik hak ulayat lewat jalur hukum, maka hasilnya adalah gugatan selalu ditolak di berbagai tingkatan lembaga-lembaga peradilan.
“Sampai akhirnya, semua gugatan tersebut ditolak lewat putusan Kasasi di Mahkamah Agung (MA). Artinya, secara hukum bahwa kepemilikan sah tanah besluit itu adalah milik pemerintah,” tegas Antonius Widyo Praptono.
Sementara itu ditempat berbeda, Ketua LSM Papua Bangkit, Ir. Hengky Jokhu menyatakan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen yang dimilikinya terkait obyek sengketa tanah besluit adalah tanah itu sudah final dan murni menjadi milik Negara.
Pemerintah kemungkinan sangat kecil untuk membayar ulang ganti rugi atas tanah yang disengketakan. Tetapi, jika masyarakat adat memaksa untuk menuntut maka jalan terbaik adalah lewat jalur pengadilan.
“Saya harap agar para pihak yang selalu melakukan aksi demo terkait hak ulayat untuk menyampaikan secara bermartabat. Supaya aktivitas publik di areal bandara tidak terganggu,” harap Hengky Jokhu diakhir wawancaranya. [mi/loy]