“ Saya tidak mau tahu, pokoknya perusahan ini harus ditutup , karena perusahan tersebut sudah mencuri hak-hak masyarakat,” kata Ketua MRP Provinsi Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren
TAMBRAUW, PapuaSatu.com – Ribuan masyarakat adat pemilik hak ulayat menutup PT. Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) di Kampung Arumi, Distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, Kamis (30/08/2018).
Sebelum masyarakat adat melakukan pemalangan Kantor PT. BAPP pukul 15.30 WIT sore itu, masyarakat adat menggelar prosesi adat bersama Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR, PGGP, Sinode GKI di Tanah Papua, LP3BH, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unipa, dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Kemudian massa masyarakat adat bersama sejumlah lembaga tersebut menuju perusahan dan melakukan pemalangan menggunakan Bambu Adat. Selain itu, balok serta kayu di pintu masuk utama perusahan, pintu kantor, dan beberapa gudang penampung jagung.
Ketua MRP Provinsi Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren menyatakan pihaknya mendukungan apa yang dilakukan oleh masyarakat adat pemilik hak ulayat, karena sesuai pengaduan masyarakata adat dan data yang dimiklik MRP bahwa status perusahan itu illegal.
“Saya tidak mau tahu, pokoknya perusahan ini harus ditutup , karena perusahan tersebut sudah mencuri hak-hak masyarakat,”kata Ketua MRP Provinsi Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren kepada wartawan, di Tambrauw, Kamis (30/08/2019).
Dikemukakaknya, perusahan jagung yang sudah beroprasi kurang lebih 5 tahun tidak memilik dokumen analisis dampak linkungan (Amdal) dan surat-surat izin lainnya.
“Kita bersama DPR, LP3BH tetap akan melakukan kajian hukum. Jadi perusahan ini harus ditutup sementara dan diproses hukum. Saya siap pasang badan atau gadaikan jabatan saya,” tegas Ahoren.
Sementara, Rudi Moses Timisela, Anggota DPR Provinsi Papau Barat menyatakan bahwa DPR siap memperjuangkan aspirasi masyarakat adat pemilik hak ulayat dan mendukung penutupan perusahan tersebut.
“Beberapa waktu lalu memang sudah ada anggota DPR yang turun ke Kampung ini. Tapi Intinya persoalan jauh lebih penting untuk diperjuangkan,”kata Rudi Moses Timisela.
Menurutnya, apabila masyarakat adat dan kepala-kepala suku menolak perusahan yang beroperasi di wilayah adat mereka. Maka, dirinya menyarakan kepada perusahan-perusahan lainnya yang masuk ke wilayah Papua Barat tanpa izin yang jelas atau masuk secara illegal harus sadar diri dan aktivitas perusahan harus dihentikan.
Berikutnya, Ketua Mekesa, Ober Ayok berharap kepada MRP, DPR, LP3BH, dan lembaga kultur lainnya serta pihak Unipa dan Sinode GKI di Tanah Papua agar dapat menindaklanjuti permasalahan masyarakat adat yang terjadi di Kabupaten Tambrauw.
“Masyarakat adat dan saya akan tidur palang perusahan. Maka saya minta aparat keamanan jangan berbuat apa-apa kepada masyarakat, tetapi bantu menjaga mereka,”tandasnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, di Lembah Kebar khususnya di Disktrik Kebar Timur, Polda Papua Barat pernah menindak tegas sejumlah pelaku penambangan emas illegal yang di duga melakukan pengangkutan emas menggunakan helicopter.
Penambangan emas illegal terdapat di beberapa titik di Distrik Kebar Timur tepat di sekitar Kali Kasih yang jaraknya tidak jauh dari Sagu yang dirubah oleh PT. Agro Prima Perkasa menjadi Lahan Jagung. [free/loy]