JAYAPURA, PapuaSatu.com – Mendidik anak di sekolah-sekolah formal, baik swasta maupun negeri atau sekolah yang dikelola oleh pemeritah, menjadi pilihan utama banyak warga dunia dimanapun berada.
Hal itu wajar, karena tuntutan dunia untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di berbagai bidang, lebih banyak disiapkan di lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut.
Namun ada satu hal yang penulis amati di lingkungan masyarakat, yakni sikap ketagihan terhadap hand phone android (gadget) dengan berbagai fitur menariknya, terutama pada permainan game, meskipun oleh lembaga pendidikan pada umumnya telah dilarang untuk dibawa anak di sekolah.
Hal itu pun, bukan hanya menjangkiti anak-anak usia sekolah, tapi juga orang dewasa, bahkan anak-anak pra sekolah pun sudah banyak yang mahir memainkan hand phone android.
Telah banyak beredar di media social, bagaimana efek negative terhadap seseorang yang kecanduan dengan fitur-fitur yang ada di hand phone android.
Salah satu pola pendidikan yang menurut hemat penulis dapat menjadi referensi adalah pendidikan yang dikelola Lembaga Ikhwan Papua Berkat di Kawasan Kota Sentani, Kabupaten Jayapura, yang menyebutnya sebagai homeschooling.
Memang di dunia internasional, terutama di Amerika Serikat maupun di negara kawasan barat lainnya, homeschooling tidak jauh beda dengan belajar dengan guru private, les, kursus atau sejenisnya.
Yakni, pembelajaran atau menyekolahkan anak di rumah, dengan meminta seorang guru atau tutor untuk mengajari di rumah.
Homeschooling tersebut di Indonesia umumnya dan Papua khususnya, terutama di Jayapura sedang dikembangkan oleh salah satu lembaga, yakni Lembaga Ikhwan Papua Berkat.
Fauzan Elzaman selaku penanggungjawab lembaga tersebut saat ditemui penulis di salah satu tempat usahanya, yaitu GH Corner, di Jalan Baru, Abepura-Kotaraja, menceritakan bagaimana ia mengelola pendidikan yang menggunakan sistem homeschooling tersebut.
“Homeschooling ini sebab dia lebih komprehensif, pendidikannya itu dia tidak terpaku pada kelas,” ungkapnya.
Namun demikian, system pendidikan yang dikelolanya tidak murni homeschooling, karena ada system asrama dan ada juga pembelajaran di kelas, meski lama di kelas sekitar tiga jam saja.
“Di sini tidak sepenuhnya homeschooling, namun kami rasa untuk menyebut system pendidikan di sini yang lebih komprehensif dan hubungan antara guru dan murid sudah selayaknya keluarga, saya kira sebutan homeschooling lebih tepatlah,” jelasnya.
Berbeda dengan sekolah formal pada umumnya, menurutnya agak sulit untuk dikembangkan, karena terpaku di kelas.
“Jadi bila dibuat secara homeschooling itu dia lebih leluasa, lebih bebas untuk membentuk akhlak anak-anak kita,” jelasnya.
Pola pendidikan homeschooling yang dikembangkan Lembaga Ikhwan Papua Berkat, dilakukan mulai tingkatan Nesri (mulai 0-3 tahun), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), hingga tingkatan SMA, yang berbasiskan pada pendidikan agama Islam, yakni pengenalan terhadap Tuhan Allah SWT, dan Rasulullah, SAW.
“Jadi mulai dari kecil mereka dididik, diupayakan segala sesuatu itu dikaitkan dengan Tuhan,” ungkapnya.
Dicontohkan, yaitu pada waktu makan, waktu minum, waktu bermain, waktu belajar, waktu mau tidur, mau apa saja aktifitas anak didik dikaitkan dengan Tuhan Allah SWT.
“Jadi bila di situ ada kekuatan (keimanan yang kuat), dapat kenal Alloh, dapat dirasakan bahwa Allah Tuhan itu sangat berjasa dalam kehidupannya, insa Alloh dia ada kekuatan dalam diri anak-anak kita, baru kemudian yang lain-lain,” jelasnya.
Dalam menanamkan ilmu kehidupan dan atau ilmu pengetahuan, yang didasari kekuatan keyakinan kepada Alloh SWT pada anak didik, maka akan lebih mudah mengarahkan seorang anak.
“Jadi selain daripada belajar yang umum (sesuai kurikulum yang ditetapkan pemerintah, red), kita memang ada waktu-waktu tertentu yang memang lebih spesifik pada pendidikan akhlak mereka,” ujar Fauzan.
Dengan demikian, menurutnya telah dapat dilihat hasilnya, terutama pada akhlak atau sikap dan tingkah laku dari para anak didik.
“Saya lihat bila ada acara-acara di luar itu, kita lihat bagaimana sikap mereka itu memang jauh lebih baik,” ungkapnya.
Hal itu dapat dilihat dari sudut adab, dari sudut berbicara, dari sudut pergaulan, dan dari sudut berpakaian.
Berbeda dengan belajar di sekolah pada umumnya, saat anak didik kembali ke keluarga dan lingkungan, akan bermacam-macam yang dihadapi, sehingga agak kurang fokus.
“Kalau seperti itu (homeschooling) anak-anak lebih mudah diarahkan sebagaimana ilmu yang sudah dipelajari,” terangnya.
Dalam mendidik anak muridnya, juga ada praktek langsung di lapangan, apakah itu bertani, berdagang, membuat makanan ringan (snack) dan lain-lainnya, sesuai minat dan bakat para peserta didik.
“Jadi bukan saja belajar secara ilmu pengetahuan, tapi mereka sudah dari segi prakteknya sesuai minat dan bakat mereka,” jelasnya.
Saat ini, di lembaga pendidikan yang dikebangkan Global Ikhwan Papua Berkat, untuk tingkat SD yang full 24 jam ada 33 orang anak didik.
Kemudian ada yang tidak 24 jam, yaitu hanya sore hari, karena paginya belajar di sekolah formal, yang diistilahkan dengan kelas Kaffah (kelas ilmu fardu ain).
Dan yang sudah masuk usia remaja, bentuk pembelajarannya sudah kehidupan, atau langsung terjun di dunia kerja, seperti berkebun, membuat aneka panganan untuk dijual, berdagang, dan lain-lain sesuai minat dan bakat yang dimiliki siswa.
“Tapi mereka juga tetap dikawal dari sudut ibadahnya, dari sudut ilmu pengetahuannya, dari sudut kuliah-kuliahnya itu memang tersistem,” tuturnya.
Satu hal yang dijaga ketat, adalah terkait dengan hand phone. Yakni semua peserta didik tidak ada yang mengunakan hand phone android.
“Kalaupun ada adalah hand phone yang cukup untuk menelepon dan mengirim pesan (SMS) saja,” ungkap Fauzan.
Hanifah Dwi Septiani, salah satu ustadzah (guru perempuan) saat ditemui di tempatnya mengajar, di Rumah Amal Cintai Tuhan Sayangi Sesama di Jalan Youmakhe Sentani, yang dikelola Lembaga Ikhwan Papua Berkat mengungkapkan, bahwa sebagai panduannya untuk memberi pelajaran kepada siswa/i-nya mengikuti kurikulumnya yang ditetapkan dari pusat.
“Seperti tauhid, fikih, akhlak. Dan untuk pelajaran umum seperti biasa kurikulum seperti juga dari Diknas,” ungkapnya.
Dikatakan, bahwa sebagai guru bukan hanya untuk transfer ilmu kepada murid, tetapi lebih utama adalah rasa. Dan setiap pelajaran, walaupun pelajaran umum dari kurikulum departemen pendidikan nasional, tetap dihubungkan dengan Tuhan Allah SWT.
“Jadi tidak terlepas apapun pelajaran itu, dikaitkan semua dengan Allah, dan itu tentu tidak mudah,” jelasnya.
Sehingga guru guru dituntut untuk lebih dahulu memiliki rasa takut dan cinta kepada Tuhan Allah.
Dan untuk membimbing para muridnya, dilakukan tidak hanya secara lahiriahnya, tetapi yang paling penting adalah juga memastikan dari sisi rohaniahnya.
Dengan mengenal lebih banyak lahir maupun batin para muridnya, diakui, masalah-masalah yang terkait dengan karakter dapat teratasi.
Hal itu dibuktikan dengan salah satu contohnya adalah bagaimana mengatasi kecanduan anak didik dengan permainan di hand phone android.
Diceritakan Sofiah Duleh, SIP selaku Ketua Lembaga Ikhwan Papua Berkat, dibawah naungan Global Ikhwan Indonesia pimpinan TDP Muhammad Rasidi Abdullah, bahwa ada salah satu muridnya yang berusia lima tahun yang namanya diminta dirahasiakan.
Saat pertama masuk sekolah, sulit bergaul dan sulit untuk ikut belajar, akibat sejak kecil selalu asik sendiri dengan handphone android. Sehingga selalu minta hand phone android saat diajak belajar. dan bila tidak diber, akan memberontak dan mengamuk.
“Anak itu ditolak untuk mengikuti pendidikan di berbagai sekolah taman-kanak-kanak pada umumnya, karena saat dibawa ke sekolah, anaknya suka teriak-teriak dan mengamuk,” ceritanya.
Hal itu karena dengan alasan kesibukan orang tuanya, maka si anak sejak kecil dipegangi hand phone android.
Si anak pun asik sendiri dan tidak mengganggu pekerjaan orang tuanya.
Dan saat usianya masuk sekolah taman kanak-kanak, baru disadari dampak hand phone android pada psikologi sang anak.
Untuk mengatasinya, kata Sofiah bercerita, pihaknya mengajak bersama-sama dengan orang tuanya di awal-awal belajar, serta mengajak orang tuanya untuk bertobat.
“Bagaimana anak itu di masa depannya sangat tergantung bagaimana orang tuanya mendidiknya. Jadi selain anaknya kita bimbing, orang tuanya juga harus bertaubat dan merubah kebiasannya terkait penggunaan hand phone android,” jelasnya.
Ia pun bersyukur, setelah satu bulan ada perubahan yang positif, terutama dari sisi psikologi sang anak. Yakni tidak lagi suka mengamuk dan memberontak.[AHMAD JAINURI]