MANOKWARI, PapuaSatu.com – Pernyataan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) incumbent nomor urut 1 Ir.H.Joko Widodo dan K.H.Ma’aruf Amin dalam debat perdana mengenai topik hak asasi manusia (HAM) lagi-lagi masih sebatas komitmen lama yang tak jelas pelaksanaannya.
Hal itu tercermin dalam paparan visi yang disampaika capres Joko Widodo (Jokowi) bahwa pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM.
Dalam slogannya Indonesia Maju Jokowi dan Pak Ma’aruf sama sekali belun menjelaskan langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukannya untuk menyelesaian pelanggatan HAM di Indonesia.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menegaskan, Yan Christian Warinussy menegaskan, komitmen Capres-Cawapres nomor urut 1 dalam konteks visi dan misinya dalan penyelesaian pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia dan khususnya di Tanah Papha sama sekali meragukan.
“Hal ini didasari langkah nyata yang baru saja dilakukan oleh Jaksa Agung Mochammad Prasetyo dan jajarannya. Yaitu dengan mengembalikan 9 (sembilan) berkas-perkara dugaan pelanggaran HAM Berat di Indonesia, termasuk Wasior 2001 dan Wamena 2003 di Tanah Papua pada tanggal 27 Desember 2018 lalu,” ujar Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari kepada PapuaSatu.com, Senin (21/01/2019).
Menurutnya, pengembalian ke-9 berkas perkara tersebut sama sekali menghilangkan harapan rakyat Indonesia dan Papua, khususnya para korban Kasus Wasior dan Wamena yang sudah lebih dari 10 tahun menanti keadilan dan kepastian hukum atas peristiwa yang mereka alami akibat tindakan negara berdasarkan amanat pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 UU RI Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
“Sekaligus tindakan Jaksa Agung RI dan Komnas HAM RI tersebut semakin menyuburkan praktek impunitas negara atas rakyat korban pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia, termasuk di Tanah Papua. Berbanding terbalik dengan Capres-Capwapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang justru tidak menjelaskan komitmen politiknya dalam penyelesaian dugaan pelanggaran HAM Yang Berat apabila mereka dipercayakan memimpin Indonesia 5 tahun mendatang.
“Kendatipun secara tersirat capres-cawapres nomor 1 menambahkan bahwa mereka akan memulai langkah penegakan hukum dan perlindungan HAM melalui reformasi kelembagaan, tindakan preventif, menumbuhkan budaya taat hukum dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu,”ucapnya.
Namun menurut pandangan salah satu Advokat dan Pembela HAM Di Tanah Papua bahwa langkah capres-cawapres nomor 1 maupun nomor 2 harus lebih jelas mengarah pada penataan infra struktur penegakan hukum dan perlindungan HAM.
“Seharusnya fokus pada aspek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini menjadi perhatian dari kedua kandidat tersebut. Perubahan atas UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam aspek peningkatan dan penguatan bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) seharusnya menjadi perhatian utama,”aku Yan Christian Warinussy.
Dikemukakan, kewenangan penyelidikan yang selama ini dipegang oleh Komnas HAM menurut pandangan saya sudah saatnya ditambah dengan kewenangan penyidikan. Sehingga Komnas HAM memiliki kewenangan memaksa dalam konteks penegakan hukum di sektor perlindungan HAM di Indonesia.
“Berkenaan dengan itu, dalan jangka panjang perlu dilakukan revisi atas isi UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tersebut. Sekaligus kedua kandidat apabika terpilih memberi porsi perhatian pada pengisian jabatan pejabat penegak hukum seperti Jaksa Agung seyogyanya berasal dari jajaran profesional atau birokrasi yang ahli di sektor HAM dan atau minimal berasal dari organisasi masyarakat sipil (civil society organizatio/CSO) yang memiliki pengalaman dan kompetensi di sektor advokasi HAM nasional dan internasional,”terang dia.
Khusus dalam upaya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua, Warinussy menyebutkan harus senantiasa mengacu pada amanat pasal 45 dan pasal 46 UU RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Maka, selaku peraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom award” tahun 2005 di Canada, dirinya mengusulkan agar pemerintah mendatang perlu segera membentuk Pengadilan HAM Berat di Jayapura untuk kasus Wamena dan di Manokwari untuk kasus Wasior.
“Pembentukan Pengadilan HAM tersebut penting untuk membangun rasa percaya rakyat Papua berkenaan dengan praktek impunitas dan ketidakadilan para korban dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini,”pungkasnya. [free]