Puluhan Hakim dan Jaksa Ikut Diklat Terpadu Gugatan Perdata Lingkungan

841

JAYAPURA, PapuaSatu.com – Sedikitnya 37 pejabat Hakim dan Jaksa, organisasi lingkungan dari Jayapura, Sorong dan Timika, mengikuti pelatihan gabungan penanganan gugatan terpadu penanganan gugatan perkara perdata lingkungan hidup ke III yang dighelar SUSTAIN EU-UNDP di salah Hotel Jayapura pada, Kamis (22/3/2018)

Sector Coordinator-Judicial Training SUSTAIN, Bobby Rahman menyebutkan, Diklat tersebut untuk penyamaan persepsi antara penegak hukum di bidang lingkungan atau hokum perdata.

Pasalnya, kejahatan lingkungan adalah kejahatan serius sehingga harus ditangani dengan banyak cara yang dijalankan bersama-sama untuk mengembalikan kerugian lingkungan.

“Untuk menuju kesana, perlu satu persepsi antara jaksa pengacara negara, hakim, organisasi lingkungan dan badan lingkungan yang ada di daerah,” katanya.

Menurutnya, penyamaan persepsi akan mengarah setelah usai Diklat nanti, karena karena Mahkamah Agung sudah melakukan secara reguler (program sertifikasi) hakim ligkungan. “Jadi para hakim khusus diajarin untuk mendapat sertifikat. program ini juga sebagai pelengkap untuk mendukung programnya Mahkamah Agung,” ujarnya.

Mengenai ganti rugi, jelas Boby, harus mengacu pada penghitungan ahli dan ada ketentuan atau kriteria dari kementerian lingkungan hidup dan kehutanan. “Jadi ada parameter yang sudah dibakukan untuk mengukur besaran ganti rugi lingkungan,” kata dia.

Menurut ia, kedepan yang perlu diwaspadai oleh para penegak hukum dan organisasi lingkungan adalah kawasan Papua Selatan, karena sudah mulai ada kebakaran-kebakaran.

“Sepanjang mau menerapkan ilmu dan cara-cara yang didiskusikan dalam pelatihan ini, saya pikir kedepan penegakan hukum terhadap lingkungan di Papya akan jauh lebih baik lagi,” ujarnya.

Tim Nasional Perkara Lingkungan Hidup Mahkamah Agung, Sugeng Riyono mengatakan kasus-kasus lingkungan sangat berbeda dan memiliki karakter tersendiri, seperti halnya penanganan sebuah kasus besar (kebakaran hutan), namun buktinya sangat minim.

“Ini yang perlu ada kesamaan pemikiran dalam pembuktian, dengan mengenalkan teknik dan cara sesuai dengan undang-undang yang ada sehingga bagaimana menerapkan itu dalam putusan,” kata Sugeng.

Menurut ia, saat ini para penegak hukum lingkungan fokus untuk kepentingan lingkungan. Artinya kalau ada kerusakan hutan yang difikirkan lebih dulu pemulihannya seperti apa.

“Kalau soal menghukum orang ya memang harus dihukum, tapi lingkungan sendiri seperti apa. Berbeda dengan kasus biasa bisa ada jalan damai, tapi kalau soal lingkungan ada karakter dan sifat-sifat khusus sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang lebih serius,” ujarnya.

Untuk itu, dirinya meminta organisasi lingkungan yang ada di Papua untuk terus berjuang menjaga lingkungan, “jangan sampai semangat mengendor,” ungkapnya. [piet]