MRP Kutuk Penyerangan Gereja ST. Lidwina di Jogyakarta

1211

Caption: Ketua Pokja Agama MRP, Yoel Luiz Mulait, SH (pakai dasi baju biru) , dan  Robert D Wanggai S.Sos, Markus Kayoi, S.Sos, Beny Suweny S.Sos . (Sony/PapuaSatu.com)

JAYAPURA, PapuaSatu.com – Aksi Penyerangan Gereja Katolik  ST.Lidwina di Kabupaten Sleman, Jogyakarta, Minggu (12/2) mengundang keprihatinan dan rasa simpati  yang dalam dari berbagai  elemen bangsa. Tidak terkecuali dari Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani.

Ketua Pokja Agama MRP,  Yoel Luiz Mulait, SH didampingi Sekretaris Pokja Agama, Robert D. Wanggai S.Sos, mengatakan, mengutuk keras aksi penyerangan tempat ibadah  tersebut. Apalagi aksi itu dilakukan saat umat lagi sedang khusuk melakukan ibadah  Minggu, dan itu dijaminan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kami  menyesalkan dan mengutuk keras aksi penyerangan gereja tersebut, karena ini jadi ancaman perpecehan  umat beragama di negara kita  NKRI,”katanya kepada PapuaSatu.com di kantor MRP Kotaraja, Senin (12/2/2018).

Meski kasus ini dapat menciderai perasaan umat, namun ia menjamin tidak akan menimbulkan reaksi berlebihan umat Tuhan  di Papua.  Sebab, bercermin dari pengalaman sebelumnya menghadapi kasus-kasus ‘SARA’ yang pernah terjadi, ternyata Papua sangat dewasa bersikap.

“ sudah teruji, soal toleransi beragama, masyarakat Papua itu dewasa, apalagi itu tujuannya jelas provokatif, ingin memecah belah umat beragama,” katanya.

Dikatakan, sangat ironis peristiwa ini terjadi, padahal baru saja Sabtu (10/12) pekan lalu Presiden Jokowi bertemu para tokoh lintas agama dari seluruh Indonesia di Istana Negara.

Dimana dalam kesemparan itu, presiden mengajak seluruh tokoh agama menjaga kerukunan antara umat beragama yang selama ini dilakukan di Indonesia, sebab menurut Jokowi kemajemukan dan toleransi yang tinggi merupakan kebanggaan tersendiri untuk bangsa Indonesia di mata dunia internasional.

Untuk itu, Yoel Luiz mengharapkan seluruh elemen bangsa dapat menyikapi peristiwa ini secara serius.  Aparat kepolisian harus memproses pelaku sesuai hukum yang berlaku dan mengungkap tuntas siapa-siapa otak dibalik peristiwa ini.

Kemudian diekspose secara transparan ke public agar  dapat memberikan rasa keadilan bagi umat, sekaligus menghilangkan kecurigaan lainnya dalam  kita berbangsa dan bernegara. “Peristiwa ini harus diusut tuntas, termasuk apa motifnya,”jelasnya.

Selain penegakan hukum, Pemerintah juga harus selalu ada pendekatan untuk merawat keberagaman dan persatuan. “ dan jangan  lupa lakukan komunikasi secara aktif,  pertemuan dengan tokoh  lintas agama mulai dari pusat sampai ke daerah. Jangan tunggu ada kejadian baru tokoh agama dikumpulkan, ibaratnya hanya memadamkan api,” jelasnya.

Sementaraitu Robert D Wanggai menilai pelaku penyerangan itu, sepertinya bukanlah orang beragama atau ateis, sebab tak ada agama yang mengajarkan  kekacauan, sehingga jika pelakunya mengaku beragama tapi bikin kacau, itu perlu dipertanyakan. “Secara etimologi, kata agama itu berarti tidak kacau,” jelas mantan wartawan ini.

Kejadian ini katanya mengingatkan peristiwa terbakarnya Mushola di Tolikara beberapa waktu lalu, dimana kasus itu begitu cepat ditangani negara. Baru beberapa hari pasca kejadian simbol-simbol negara sudah hadir di Tolikara, Kapolri dan beberapa mentari ke Tolikara atas perintah presiden.

Tapi sayangnya dia melihat penanganan kasus Yogyakarta tidak secepat itu. Dia hanya mewanti-wanti  jangan sampai ada kesan diskriminasi dari negara dalam penanganan masalah di bangsa ini.

Seperti diketahui aksi penyerangan umat yang sedang beribadah di Jogyakarta mengakibatkan 5 orang  korban terluka bacokan pelaku. Salah satu diantaranya korban adalah pendeta,  Romo Edmund Prier,  3 jemaat dan satu anggota polisi. [sony]