Pelaksanaan Pilkada di Tanah Papua Harus Dievaluasi

602

Ketua Panja Investigasi Pilkada DPR Papua, Nioluen Kotouki saat memberikan keterangan bersama anggota, Lazarus Siep, Elvis Tabuni dan Mustakim HR, kemarin. Foto: Abe Yurie



Pilkada Untuk  Kesejahteraan Bukan Mengorbankan Rakyat

Jayapura, PapuaSatu.com  –  Proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di Tanah Papua yang terjadi beberapa tahun belakangan ini tidak memberikan keuntungan bagi seluruh masyarakat Papua.

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Tim Panja Investigasi Pilkada DPR Papua, Nilouen Kotouki dalam keterangan persnya didampingi Anggota Panja, Mustakim, Elvis Tabuni, dan Lazarus Siep di Rumah Makan, Sari Murni Kotara, distrik Abepura-Kota Jayapura, Minggu (30/07/2017).

Ia mengungkapkan, pasca pilkada yang berlangsung di Tanah Papua hampir 80 persen hasil dari proses berlangsungnya Pilkada di Tanah Papua hanya jadi masalah dan merugikan seluruh masyarakat Papua.  Dimana seharusnya masyarakat jadi objek pembangunan namun menjadi subjek. “Dampaknya terjadi kareena pelaksanaan berpolitikan yang berlangsung di Papua” tutur Kotouki.

Melihat hal tersebut, Kotouki menegaskan bahwa DPR Papua telah membentuk Tim Pansus Investigasi Pilkada yang diutus untuk menginvestigasi segala persoalan yang terjadi pasca berlangsungnya pesta demokrasi di Tanah Papua.

“Tugas kami yang pertama adalah melakukan pendataan terhadap dampak yang terjadi pasca Pilkada baik itu kerugian aset-aset negara maupun korban jiwa yang terjadi pasca berlangsungnya pilkada, data-data yang kami kumpulkan tersebut nantinya akan kami bawa ke satu meja dan duduk bersama semua stakeholder yang ada di Provinsi Papua untuk mencari jalan keluar,” tambahnya.

Kotouki berharap agar pilkada maupun pasca pilkada di Papua tidak bisa terus-menerus dibiarkan, yang akhirnya berdampak pada hilangnya nyawa manusia, khususnya masyarakat asli Papua. “Data orang asli Papua menurut data statistik di Provinsi Papua sebanyak 3 juta lebih, namun data belum bisa kami pastikan karena bisa saja dimanipulasi,” tuturnya.

Menurutnya, Standar Orang Asli Papua (OAP) sampai detik ini hanya dibawah angka dua juta penduduk . Itupun hanya data politik. “Setelah kami lihat dampak dari perpolitikan berakhir pada konflik antara suku yang akhirnya korban jiwa berjatuhan,” tuturnya.

Lanjutnya jatuhnya korban jiwa atas berlangsungnya proses demokrasi di Papua menjadi catatan penting oleh Tim Panja Investigasi Pilkada DPR Papua. “Kami minta pemerintah tidak boleh menyepelekan jatuhnya korban dalam Pilkada karena hal itu tidak disukai oleh masyarakat Papua,” harapnya.

Bahkan ia meminta kepada pemerintah harus bertanggungjawab atas jatuhnya korban jiwa atas konflik yang terjadi, karena orang asli Papua jauh lebih berharga dibanding dengan yang yang sudah dikeluarkan sejak proses pilkada berlangsung.

“Sehingga kami harap para politisi dan semua stakeholder dan para pemangku kepentingan agar kita bersama-sama tuangkan pikiran mencari fomula baru. Apakah pemilihan langsung ini pantas dan bisa dilakukan di Tanah Papua atau kita rubah fomula karena ini butuh pikiran dari semua unsur tanpa membawa satupun kepentingan pribadi dan kelompok, tapi kita lihat kesempatan manusianya terlebih dahulu lebih khusus Orang Asli Papua kita selamatkan dulu” ungkapnya.

Karena menurutnya jangan satu nyawa menjadi korban dianggap sebagai hal yang sepele karena ini manusia “dan bagaimana bisa manusia ini bisa membangun Papua kalau dibinasakan terlebih dahulu melalui Pilkada” katanya.

“Kami akan memfasiltasi agar semua stakeholder dan para pemangku kepentingan di Provinsi Papua agar dapat memberikan sumbangsih pikiran dalam mencari jalan keluar dari semua masalah pilkada selama ini melalui Tim Panja Investigasi Pilkada DPR Papua” tukasnya.

Iapun mencontohkan bentrok yang terjadi di Kabupaten Nduga, akibat terjadi bentrok di daerah tersebut, pembanguan jadi terhambat hanya karena terjadinya perang suku itupun dampak dari persoalan Pilkada.

“Makanya itu kami membuka wacana dan nantinya Tim Panja akan membuka ruang yang besar  untuk semua pemangku kepentingan untuk memberikan sumbangan pikiran untuk kita dapat merubah formula pemilhan kepala daerah di Provinsi Papua “ tambahnya.

Iapun menambakan bahwa saat ini Tim Panja butuh konsep soal Pemilihan Kepala Daerah di Tanah Papua. “Sebelum masuk pesta demokrasi, dulu itu kan ada pemilhan yang dilakukan oleh parlemen pada saat itu ada pengobanan jiwa atau tidak. Namun setelah kedaulatan ini dikembalikan ke rakyat disitu ada kerugian atau tidak, kerugian itu bukan hanya soal perang suku saja tapi dari bagaimana memanage anggaran APBD apakah itu efesien atau tidak, karena sesungguhnya APBD itu utuk menyejahterakan rakyat bukan untuk Pilkada karena ini juga merupakan bagian dari kerugian” pungkasnya.

Sementara itu anggota Tim Panja DPR Papua, Elvis Tabuni mengungkapkan bahwa pemilhan Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh DPR tidak pernah menimbulkan jatuhnya korban jiwa baik di Papua maupun diseluruh Indonesia oleh sebab itu ia menghibau agar pemerintah mau mengkaji kembali agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke parlemen.

Menurutnya pesta demokrasi yang tengah berlangsung saat ini tidak berjalan efektif karena adanya perbedaan pendapat yang pada akhirnya menjadi dendam  yang dibawa oleh masyarakat Papua.

“Contohnya, putra-putri asli Papua yang pintar dan memiliki IQ diatas rata-rata, ilmu yang baik untuk terapkan pembangunan terpaksa harus dinonjobkan karena perbedaan pendapat dalam Pemilhan Kepala Daerah dan hal ini sering terjadi” katanya.

Bukan hanya itu saja, iapun menambahkan bahwa masalah inipun dibawa hingga kedalam keluarga sehingga sering terjadinya permusuhan antar keluarga, Gereja dan desa hal itu sering terjadi di daerah pegunungan.

“Jadi Posko di daerah pegunungan itu sama saja dengan markas perang karena disitu ada isu yang disebar dari pihak sebelah ke pihak sebelah lagi sehingga menjadi dendam” tukasnya.

Iapun berharap agar pemerintah dapat memberikan solusi terbaik agar Pilkada di Tanah Papua, khususnya di daerah pegunungan tidak menjadi dendam yang berujung perang.

“Ini bukan untuk menghilangkan Demokrasi yang menjadi aturan tetapi semua itu harus bersamaan antara pemerintah pusat yang jadwalkan serentak ya itu memang harus serentak, Papua akan tetap ikut ambil bagian dalam hal itu, tapi sistem dan caranya itu yang harus berubah di Papua” ungkapnya.

Iapun mencontohkan seperti DKI Jakarta yang pemilihan Walikotanya di tujuk langsung  oleh Gubernur dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang Gubernurnya adalah Sri Sultan yang turun-temurun memimpin Yogyakarta.

“Kenapa kedua daerah tersebut bisa sedangkan Papua tidak, Papua telah diberikan Otonomi Khusus jadi berikan kepercayaan bagi seluruh masyarakat Papua, karena ini pemerintah pusat tidak mau tanggapi DPR Papua, dan saya sebagai contoh dan saya sudah alami karena saya pernah kesana tapi tidak ditanggapi sama sekali” katanya.

Menyinggung soal bentrok yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya beberapa tahun lalu ia mengatakan, itu akibat dari salah satu partai mengeluarkan dua rekomendasi pada calon bupati. “Hal-hal seperti ini yang akan menjadi menjadi dendam untuk warga di pegunungan” tukasnya.

Oleh sebab itu ia meminta kepada pemerintah, tokoh-tokoh Gereja dan seluruh masyarakat Papua agar sama-sama satu pikiran untuk membangun Papua. “Dan kami menyarakan agar pemilihan kepala  daerah dikembalikan seperti semula agar tidak makan banyak biaya”tutupnya.

Mustakim yang juga anggota Panja mengatakan bahwa khususnya Pemilukada di Papua harus dipikirkan oleh seluruh masyarakat Papua, karena melihat pasca pelaksanaan Pilkada yang berlangsung di Papua selama ini selalu mejatuhkan korban jiwa.

Karena akibat dari pelaksanaan Pemilukada selama ini selalu menjatuhkan korban dan kerugian materi di Tanah Papua. Oleh sebab itu ia mengajak seluruh masyarakat untuk coba memikirkan format yang terbaik untuk Papua.

Iapun mengatakan meskipun Papua itu memiliki Otonomi Khusus namun Papua itu hanya khusus dalam tiga hal yang pertama DPRD tingkat satu di daerah lain tapi di Papua DPRP. “Kemudian ditempat lain tidak punya MRP kami di Papua punya MRP serta  Gubernur dan Wakil Gubernur haruslah Putra-Putri asli Papua, cuma itu saja” tuturnya.

Oleh karena itu ia meminta pemerintah pusat agar mau melihat dengan hati semua persoalan yang ada di Papua karena semua itu sudah tercantum di dalam UUD Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, disitu sudah jelas dan telah dijabarkan dalam tata cara pemilihan kepala daerah di Tanah Papua.

Mustakim juga menambahkan bahwa amanah Undang-undang Otsus itu tidak berjalan namun dikesampingkan.

“Coba kita bedah dan lihat Bab V pasal  7 disitu telah dijabarkan tentang pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu ya apakah kita harus terima kalau di setiap bergulirnya Pilkada ada korban yan bejatuhan terus kemudian kerugian-kerugian materinya yang tak bisa dihitung” paparnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa disetiap bergulirnya Pilkada diseuruh Indonesia Tanah Papualah yang termahal dari seluruh daerah di Indonesia.

“Bagaimana tidak, dana pengamanan saja kurang lebih tiga triliun itu untuk penganaman di tahun 2018, kemudian untuk pelaksanaan, penyelenggara sudah mengajukan dana sebesar 1,2 triliun itu hanya untuk satu putaran  bagaimana kali dua atau tiga putaran jelas akan bertambah lagi kerugian negara ini” tukasnya.

Oleh karena itu ia bersama Tim Panja mengajak semua elemen masyarakat  untuk mengkaji lebih mendalam lagi soal pelaksanaan Pemilukada yang tepat, format yang tepat untuk pemilihan Kepala Daerah di Papua tanpa mengorbankan jiwa.

“Karena nyawa itu tidak bisa dhitung dengan Rupiah, mari kita sama –sama mencari format yang terbaik. Dulu sewaktu Pemilihan Kepala Daerah masih di Parlemen sama sekali tidak pernah adanya korban jiwa. Tujan dari Pilkada adalah untuk mensejahterahakan masyarakat bukan untuk mengorbankan masyarakat” pungkasnya. (Abe)