JAYAPURA, PapuaSatu.com – KPU Provinsi Papua melalui kuasa hukumnya mempertanyakan legal standing soal gugatan Peselisihan Hasil Pemilu (PHP) Pasangan JHOSUA selaku pemohon kepada Mahkamah Konstitusi.
Hal itu, sebagaimana release yang diterima PapuaSatu.com dari KPU Papua, terungkap dalam pada sidang sengketa Pilkada di Papua di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Dalam persidangan, Pieter Ell, SH selaku kuasa hukum KPU Papua dalam eksepsinya, dengan agenda mendengarkan jawaban KPU Provinsi Papua, Bawaslu Provinsi Papua dan Pihak Terkait paslon nomor 1, Lukas Enembe-Klemen Tinal.
Dalam eksepsinya, pihak KPU Papua menyampaikan, dengan memperhatikan syarat prosentase perolehan suara pasangan calon, jumlah perolehan suara pihak terkait (LUKMEN, red) sebanyak 1.939.539 suara, sedangkan jumlah suara pemohon hanya 932.008 suara, dimana total perolehan suara sah sebesar 2.871.547 suara.
Sehingga, melihat syarat ambang batas maksimal sebagaimana Pasal 158 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, maka selisih suara antara Pemohon dan Pihak Terkait sebesar 1.007.531 suara atau setara 35,08 persen.
Maka dengan demikian Pemohon tidak memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan perselisihan perolehan suara hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tahun 2018 ke Mahkamah Konstitusi.
“Selisihnya itu kan sangat jauh, jadi sudah lewat ambang batas,” kata Pieter Ell selaku Kuasa Hukum KPU Papua, usai memberikan jawaban sebagai pihak termohon saat sidang sengketa Pilgub Papua di Mahmamah Konstitusi, Selasa (31/7/2018).
Selanjutnya, soal keberatan atas perselisihan perolehan suara, menurut Pieter Ell, pemohon tidak menguraikan secara jelas dan tegas mengenai selisih perolehan suara antara Pemohon dengan pihak terkait, dengan Pasangan Calon Nomor Urut 1 Lukas Enembe-Klemen Tinal.
“dalil Petitum pemohon tidak meminta penetapan hasil penghitungan suara yang benar, sehingga permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf b angka 5 PMK 5/2017, bahwa petitum dalam permohonan harus memuat permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon,” kata Pieter menambahkan.
Dalam permohonannya, petitum Pemohon hanya memuat permintaan untuk dilaksanakannya pemungutan suara ulang di 13 (tiga belas) Kabupaten yang menggunakan sistem Noken.
Selanjutnya, dalil mengenai adanya pelanggaran seperti penggunaan fasilitas negara, mobilisasi dan keterlibatan aparatur sipil negara serta politik uang dalam proses pemenangan yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1 Lukas Enembe-Klemen Tinal terhadap dalil-dalil tersebut, semuanya tidak ada yang berkaitan dengan objek perkara.
Bahkan dalam hal terhadap pelanggaran administrasi, Bawaslu Provinsi akan memberikan rekomendasi untuk diselesaikan oleh KPU, sedangkan pelanggaran pidana diselesaikan oleh Sentra Gakkumdu dan dilanjutkan ke Pengadilan Negeri.
“Sehingga dalil permohonan yang disampaikan Pemohon pada pokoknya merupakan kewenangan dari lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya sebelum masuk ranah sengketa hasil, dan oleh karenanya perkara yang diajukan Pemohon bukan menjadi ranah serta kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya,” kata Pieter lagi.
Menyangkut dalil pemohon yang berkeberatan terhadap pelaksanaan pemungutan suara dengan menggunakan sistem noken di 13 Kabupaten di Provinsi Papua, KPU Papua menyatakan bahwa hal itu tidak benar, dan bukan pada tempatnya untuk “menggugat” soal noken dalam peradilan sengketa atau perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Kostitusi.
Intinya kata Pieter Ell, Sistem Noken untuk pelaksanaan Pilkada di wilayah Papua legal dan sah dengan dasar hukum putusan MK tahun 2009, Putusan MK Tahun 2013 dan Pilres, dan PKPU Nomor 10 tahun 2017 Pasal 32, dan rekomendasi KPU Provinsi Papua Nomor 08 Tahun 2018.
“Dasarnya kan ada,” katanya singkat.
Pieter Ell mengatakan, pihak termohon hanya menduga-duga saja soal pelanggaran, dan tidak menyebutkan selisih perolehan suara dalam permohonannya.
Dalil-dalil yang disampaikan pihak KPU Papua sebagai termohon, kata Pieter Ell, sesuai dengan fakta yang ada.
Komisioner KPU Papua, Tarwinto menambahkan, intinya apa yang dituduhkan pihak Pemohon kepada KPU Papua, tidak benar terjadi, sebab pada faktanya, bukti-bukti pelanggarannya tidak ada.
“Pelanggaran pada prosesnya sudah di Bawaslu, disetiap tingkatan tidak ada laporan kejadian khusus baik multi rekap maupun saat prosesnya,” kata Tarwinto menambahkan. Sementara, Bawaslu Papua tidak ada satupun mengeluarkan rekomendasi baik dari Panwas Distrik maupun Panwas Kabupaten.
“Jadi jika ada pelanggaran mestinya sudah di proses saat rekapitulasi disetiap jenjang baik di PPD, maupun di KPU Kabupaten,” kata Tarwinto.[yat]