JAYAPURA, Papuasatu.com – Anggota Komisi I DPR Papua, bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM, Laurenzus Kadepa menyarankan agar dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo bisa menempatkan kondisi darurat perang melawan korupsi di Papua.
“KPK telah memberikan prioritas kerja untuk memberantas tindak pidana korupsi, sehingga Pemerintah Pusat bisa terlibat aktif mendukung agenda KPK melalui berbagai macam instrumen kebijakan yang dibutuhkan, termasuk di tanah Papua,” tegas Laurenzus kepada Papuasatu.com via selulernyr, Jum’at (14/7/2017) kemarin.
Laurenzus mengemukakan, korupsi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling mengikat, meskipun ada situasi dimana satu faktor lebih kuat pengaruhnya daripada faktor lainnya. “Jika tindakan ini terus dilakukan, maka masyarakat akan terus kemiskinan sampai keturunan, sementara para koruptor melayang-layang diudara,” katanya.
Menurutnya, KPK telah menyatakan bahwa terdapat sepuluh sebab korupsi yang harus segera diselesaikan yakni tidak efektifnya fungsi pemerintahan, khususnya dalam manajemen publik seperti perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah dan layanan publik, buruknya sistem pengadaan barang dan jasa, minimnya akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, mandulnya fungsi pengawasan internal pemerintahan, rendahnya pendapatan asli daerah, buruknya kualitas pendidikan, aspek sosial dan absennya partisipasi publik dalam pembangunan.
Disamping itu, lanjut Laurenzus, buruknya penegakan hukum juga sangat mungkin turut memberikan kontribusi bagi lestarinya korupsi di tanah Papua. Apalagi, tren korupsi yang dilansir ICW pada tahun 2016 bahwa lembaga penegak hukum yang ada, yakni Kejaksaan dan Kepolisian menunggak banyak perkara korupsi di Papua sangat kurang.
Misalnya, Kejaksaan di Papua memiliki 25 perkara korupsi yang belum ditindaklanjuti alias mandeg, sedangkan untuk kepolisian di Papua menunggak 10 perkara korupsi yang tidak jelas penanganannya hingga saat ini. “Jadi, harus dipahami bahwa pertaruhan yang paling nyata dari gagalnya pemberantasan korupsi di Papua adalah ketidakstabilan,” katanya.
Untuk itu, Jakarta tidak bisa lagi menjadikan Papua sebagai sumber pundi-pundi uang bagi segelintir elit di pusat maupun elit di Papua, karena manipulasi atas program pembangunan yang ingin diakselerasi melalui program dana otsus hanya akan melahirkan apatisme publik di Papua, yang dalam titik tertentu dapat diekspresikan melalui berbagai macam cara sebagai bentuk ketidakpuasan atas kondisi Papua, baik melalui cara-cara yang dianggap oleh Jakarta sebagai makar maupun bentuk lainnya yang ‘konstitusional’.
Oleh karena itu, Laurenzus menyarankan kepada pemerintahan Jokowi agar perlu menempatkan kondisi darurat perang melawan korupsi di Papua mengingat KPK telah memberikan prioritas kerja pemberantasan korupsi disana. Salah satunya membangun sistem pengendalian atas perencanaan, pelaksanaan dan fungsi pengawasan atas penggunaan dana otsus Papua yang dapat diakses oleh publik luas melalui pemanfaatan teknologi informasi, penguatan kelembagaan pemerintahan melalui modernisasi birokrasi, baik pada sisi aparatur, sistem operasi dan prosedur, serta mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya yang sejalan dengan agenda reformasi birokrasi pada level pusat, serta menyediakan akses yang seluas-luasnya bagi elemen kontrol sosial, khususnya jurnalis untuk melihat Papua.
Hal ini disampaikan karena diduga karena lemahnya kelompok masyarakat sipil di Papua dapat ditambal dengan peran media massa yang kuat untuk menjalankan fungsi kontrolnya. “Jadi dengan ditempatkan kondisi darirata perang melawan korupsi di Papua guna memperbaiki kondisi ekonomi dan meningkatkan akses terhadap infrastruktur di Papua diimbangi dan bahkan diperkuat dengan program pemberantasan dan pencegahan korupsi yang efektif.
“Jangan sampai ada kesimpulan bahwa korupsi yang mewabah di Papua adalah ongkos dari pembangunan yang tengah digenjot Jakarta.Ini harus perlu di pahami oleh Pemerintah Pusat dibawah pemerintahan Presiden RI Jokowi,” pungkasnya. (Nius)