JAYAPURA, PapuaSatu.com – Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia akan memberhentikan melaui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR RI, DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang maju calon anggota legislative 2019 tapi melalui partai berbeda.
Kebijakan resmi Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia ini termuat dalam surat edaran yang dikirimkan ke seluruh Gubernur, Bupati/Wali kota dan pemimpin DPR seluruh Indonesia.
Surat edaran Mendagri nomor : 160/6324/OTDA mendapat respon dari beberapa anggota DPRP yang maju caleg kembali tapi dari partai politik berbeda.
Ketua Komisi I DPR Papua, Ruben Magai mengatakan surat edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia sangat bertantangan dengan UU nomor 7 tahun 2011 tentang partai politik.
“Saya pikir dalam UU nomor 23 tahun 2014 menjelaskan bahwa eksekutif dan legislatif di sebut Pemerintah daerah tetapi dalam proses dan mekanisme pengangkatan itu beda UU, sehingga menteri dalam negeri tidak serta merta menyatakan bahwa setiap anggota DPR yang berpindah partai politik dalam proses pencalegan ini tidak akan menerima hak setelah penetapan Daftar calon tetap (DCT),” kata Ruber Magai di kepada wartawan di gedung DPRP, Senin (6/8/2018).
Menurut Ruben, surat edaran Mendagri tidak prosedural dan dinilai intervensi wilayah demokrasi dan politik.
“Jadi, saya mewakili seluruh anggota DPR Indonesia mempertanyakan menteri dalam negeri tentang surat edarannya kalau seperti itu kita dipergunakan UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, maka ruang demokrasi dan politik di intervensi oleh eksekutif,” ujar Magai.
Dikatakan, kebijakan Mendagri ini pantas diberlakukan kepada ASN, Gubernur, Bupati/Walikota yang masih aktif tapi ingin maju caleg pada pemilihan legislative 2019.
“Saya pikir tidak kaitan dengan PAW anggota DPR Papua yang maju caleg dari partai lain sesuai harus pake aturan karena di situ memang di minta dari PKPU bahwa setiap anggota itu harus ada surat pengunduran diri dan pengunduran diri itu sebuah syarat saja dalam pencalegan,” katanya
Dijelaskan, masing – masing partai politik punya kode etik, kemudian UU nomor 7 tahun 2011 tentang partai politik sudah mengatur bahwa seorang anggota DPR harus mengundurkan diri dari anggota kepartaian jika maju caleg dari partai lain.
“Saya sudah bikin surat pengunduran diri, sebelumnya saya di demokrat sekarang saya caleg dari partai nasdem, itukan sebuah syarat dan menjadi persoalan merespon seluruh anggota DPR yang pindah partai politik atau tetap dalam partai politik itu yang harus dipertanyakan surat edaran mendagri,” jelas Ruben.
“Bahkan ancaman gaji tidak di ambil, kami sumpah janji selama 5 tahun melaksanakan tugas sebagai wakil rakyat baru di pertengahan jalan menteri edaran mendagri turun untuk lakukan PAW, enak saja,” tegasnya lagi.
Pelaksanaan PAW itu ada syaratnya yaitu anggota berhalangan tetap kemudian melawan kode etik prosesnya ada sehingga hal – hal begitu cepat di respon dan kami dari Papua mempertanyakan surat edaran mendagri itu.
“Ini ruang demokrasi jadi saya mau pindah ke partai politik mana itu saya punya hak sehingga tidak boleh intervensi dari eksekutif (Mendagri) dan secara administrasi saya sudah sampaikan terima kasih kepada pimpinan partai politik yang lama bahwa saya pindah partai politik untuk maju caleg 2019,” tegasnya.
Politisi Gerindra, Elvis Tabuni yang maju caleg dari Partai Berkarya besutan Tomy Soeharto menambahkan seorang anggota DPR yang PAW tidak bisa langsung diberhentikan hak – hak tapi harus menunggu sampai dilantik pengganti baru diberhentikan hak anggota DPR PAW.
“Bukan surat edaran mendagri keluar langsung segala hak – hak diberhentikan itu tidak ada aturan yang mengatur hal itu. UU Partai Politik, UU Pemilu dan UU Pemerintahan itu tidak sama jadi jangan di intervensi legislative dengan UU Pemerintahan daerah,” kata Elvis Tabuni.
Pihaknya juga meminta Kementerian Dalam Negeri harus merevisi surat edaran tersebut karena tidak prosedural.“Jadi, Kementrian Dalam Negeri perlu revisi dan tinjau kembali surat edaran yang sudah dikeluarkan terhadap PAW anggota DPR seluruh Indonesia,” ujar Tabuni.
Sementara itu, anggota DPR Papua, Yonas Nussy menegaskan surat edaran Menteri Dalam Negeri tidak bisa mengalahkan UU yang memiliki kedudukan paling tinggi.
“Jadi, terkait dengan masa tugas dan sumpah janji pada saat pelantikan anggota DPR Papua itu 5 tahun dan sudah diatur dalam UU, terus mau dipatahkan dengan surat edaran ini sebenarnya sebuah pergerakan intervensi eksekutif terhadap legislatif,” tegas Yonas Nussy.
Dikatakan, proses PAW bagi anggota DPR apabila ada berhalangan tetap bagi anggota DPR tersebut, sementara surat edaran Mendagri berhentikan seorang anggota DPR di tengah jalan hanya beralaskan pindah partai dan calon lagi itu sesunggguhnya tidak sinkron dengan UU.
“Jadi, selama partai politik tidak melakukan pemberhentian terhadap kadernya, Mendagri tidak boleh melakukan intervensi,” katanya. [piet]