Oleh
Iriano Yedijah Petrus Awom, S.Pd,.M.Hum
Penulis Adalah Dosen Fakultas Sastra, Univertas Negeri Papua
SETIDAKNYA ada empat hal penting yang digaris bawahi dari judul saya ini. Yang pertama adalah kata “revival” yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah kebangkitan kembali. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan “kebangkitan kembali dari apa?” “apa yang telah terjadi sebelumnya?”Ini mengindikasikan bahwa sebelumnya telah terjadi collapse (kejatuhan/kematian) dan kemudian ia bangkit atau berdiri lagi.
Hal ini akan dibahas kemudian. Namun kata kedua yang penting untuk dilihat adalah kata “survival.” Kata kedua ini erat kaitannya dengan kata pertama. Survival berasal dari kata “survive” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “bertahan” ia terus berjalan/berlangsung apapun itu kondisi yang menerpanya ia tetap bertahan. Kalau ada kebangkitan maka akan ada kerlangsungan/kebertahananan. Kata berikut adalah “Black” atau dalam bahasa Indonesia artinya ‘hitam.” Kata ini secara spesifik merujuk ke identitas dan entitas pribadi ataupun komunitas masyarakat tertentu. Yang dicirikan secara fisik berkulit hitam dan berambut keriting. Namun lebih dari sekedar urusan tampilan fisik kata “hitam” merujuk kepada kebanggan kepada identitas sebagai suatu komunitas khusus dan unik. Kemudian yang terakhir adalah kata “budaya.” Budaya menurut definisi ilmu antropologi yang saya kutip dari buku Koentjaningrat bahwa budaya adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.” Jadi dalam definisi ini dapat dilihat bahwa ada gagasan atau pikiran-pikiran kemudian mengejewantah menjadi tindakan atau aksi berupa karya-karya yang dianggap menjadi milik dan ciri suatu komunitas masyarakat. Dan semuanya tindakan/aksi itu harus dibiasakan oleh manusia dengan cara dipelajari (learned).
Hari ini kita berkumpul di sini, para akademisi: dosen, mahasiswa serta pegiat dan pemerhati seni dan budaya hendak melakukan suatu kegiatan yang bernuansa seni dan budaya. Kita harus benar-benar sadar dan paham bahwa apa yang kita lakukan hari ini adalah bagian dari kegiatan seni dan budaya bukan sekedar hura-hura.
Oleh sebab itu dengan merujuk pada hal ini saya kemudian merangkum penjelasan dari setiap kata pada judul orasi budaya ini “Revival and Survival of The Black Culture” ingin menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan hari ini adalah upaya moril dan tanggung jawab kita bersama untuk membangkitkan dan menjaga keberlangsungan semangat budaya kita sebagai suatu komunitas masyarakat. Kata revival dan survival seperti yang disinggung sebelumnya saya maknai ia merujuk pada adanya distorsi atau kematian budaya luhur Papua yang diakibatkan adanya sivilisasi atau peradaban dengan adanya kontak dengan orang luar.
Lebih spesifik adalah melalui misionaris Eropa dan kemudian negara. Baik misionaris dan negara membawa unsur modernitas yang kemudian membawa efek samping terhadap matinya beberapa identitas kePapuan. Relasi antara Power dan knowledge (kekuasaan dan pengetahuan) sangat erat seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault. Siapa yang menaklukkan dan berkuasa atas suatu tempat akan memaksakan bahasa dan budayanya untuk dipakai. Sementara yang ditaklukkan dianggap inferior dan rendah baik bahasa dan budayanya. Penaklukan oleh kekuatan luar ini berimbas pada terkikisnya identitas Papua. Hal ini kian menjadi dalam era milenial dimana teknologi informasi begitu canggih sehingga generasi kini seperti generasi yang terhilang “the lost generation.”
Oleh karena itu kata “revival” dan “survival” adalah segenap upaya kebangkitan untuk mengumpulkan keping identitas oleh generasi kini yang terpecah dari akarnya oleh peradaban dan modernitas. Dengan memaknainya secara positif sebagai bagian dari identitas budaya yang beradaptasi dengan semangat jaman tetapi terus mencari pijakan pada akar tradisinya.
Kata hitam yang disebutkan sebelumnya pada judul ini sekali lagi bukan berintensi rasis tetapi menunjukkan keunikan kekhasan, dan eksostisme sebagai sesuatu yang mencirikan kebanggaan pada budaya Papua yang kita miliki saat ini dalam generasi kini. Kata “hitam” menunjukkan semangat Pan Papuanisme seperti yang kita jumpai pada kata atau frasa Band Legendaris Papua “Black Brothers” serta pula julukan Persipura, “Mutiara Hitam” yang ketika menyebutkannya kita sebagai orang Papua akan merasa bangga dan memiliki semangat superioritas yang positif. Semangat untuk tidak merasa inferior atau rendah diri dengan segala stigma negatif yang melekat pada kata hitam itu.
Aksi budaya hari ini berwujud dalam ekspresi seni berupa, musik, lagu, tari, dan narasi puisi dan orasi. Kesemuanya terlahir dari rahim budaya. Dalam pentas seni hari ini kita akan disuguhkan berbagai macam pertunjukkan dari yang tradisional hingga yang moderen atau popular. Ada folksongs atau lagu daerah ada pula lagu hip-hop dan reggae. Ada tarian tradisional ada pula tarian moderen. Kesemuanya diterima sebagai ekspresi seni dan budaya.
Ini penting untuk disimak karena seringkali terjadi kontradiksi dan konflik antara seni dan budaya tradisional dan popular (modern). Pasti banyak pro dan kontra soal itu. Ada yang antipati terhadap modernitas dan menganggap bahwa bentuk-bentuk seni modern itu tidak otentik dan tidak mencirikan budaya asli. Atau pula sebaliknya ada yang malu untuk mengangkat budaya atau seni tradisional dalam ekspresi modern karena dianggap primitif dan ketinggalan jaman. Ada banyak pendapat soal itu tapi bagi saya budaya bukan suatu produk akhir yang final tetapi ia dinamis dan terus berkembang. Ia menyesuaikan perkembangan jaman dimana “hyperreality” Jean Baudrillard berlaku bahwa orisinalitas itu senantiasa kabur, karena yang terjadi dalam dunia ini sesungguhnya hanyalah copy dan imitasi. Manusia saling bersinggungan dari generasi ke generasi sehingga saling mempengaruhi satu sama lain. Itu berimbas juga pada ekspresi-ekspresi seni dan budaya. Siapa yang tahu kalau gitar, ukulele, dan gitar stem bass adalah murni temuan suku Byak atau Serui? Ataukah dipengaruhi oleh bangsa Eropa? Apakah baju batik adalah murni budaya asli orang Indonesia?
Yang menjadi substansial disini adalah bagaimana kita berekspresi, kreatif dan inovatif. Hypolite Taine, seorang kritikus sastra asal Prancis, mengatakan ada tiga hal yang mempengaruhi seseorang ketika ia berkarya cipta. Yang pertama yaitu: ras. Ras berkaitan dengan sesuatu yang terbawa dalam gen bersama dengan kelahiran seseorang. Yang kedua yaitu: moment (masa) berkaitan dengan waktu atau masa di mana ia berkarya. Dan yang ketiga yaitu mileu (lingkungan) berkaitan secara spesifik ke lingkungan geografis di mana ia berkarya. Jadi bentuk-bentuk ekspresi seni budaya menilik sesorang berasal dari mana, kapan, dan di dalam lingkungan seperti apa?
Kesemuanya yang saya sebutkan ini akan nampak dalam penampilan-penampilan hari ini. Perpaduan antara tradisional dan popular. Akan ada nyanyian tradisional Papua, ada nyanyian popular seperti hip-hop dan reggae. Akan ada pula narasi puisi dan orasi budaya yang semuanya berkisah tentang suatu ras atau suku bangsa Melanesia dan negroid di Papua dengan segala keeksotisan alamnya, manusianya, budayanya, bahasanya ataupun polemik persoalannya. Kita pernah punya pelaku-pelaku seni budaya yang juga berlatar tradisional dan popular yang berupaya menyuarakan tentang negeri Papua. Sebut saja Mimi Fatahan, Arnold Ap dengan grup Mambesak, Sam Kapisa, Black Brothers, Black Papas, Coconut band, Black Airmood, Abresso, serta Rio Grime. Upaya mereka ini patut diapresiasi dan diteruskan.
Belajar dari kebangkitan bangsa kulit hitam di Amerika dari 400 tahun penjajahan melalui seni dan sastra di Harlem pada tahun 1930an hingga 1960an. Bahwa penderitaan yang mereka alami tak membuat mereka terpuruk. Mereka bangkit mengumpulkan puing-puing jati diri mereka yang tercerai berai akibat perbudakan untuk membangun kembali monument yang tak dapat dijarah lagi melaui ekspresi seni, budaya dan sastra.
Para kaum akademisi, intelektual, seniman, musisi, sastrawan semua bahu membahu mengangkat harkat dan martabat dirinya dengan apa yang dikenang sebagai semangat Harlem Renaissance, “revival of the black culture” through art, music and literature. Hal ini patut dicontoh, oleh sebab itu semoga apa yang kita lakukan hari ini dapat mengobarkan senantisa api kreatifitas untuk berkarya bagi tanah Papua tercinta. Berharap akan ada Papua Renaissance yakni kebangkitan budaya Papua!!! Berawal dari kampus ini…!!! ***