OPINI
Oleh : Elias H. Thesia, SH, MH
PENGGUNAAN KEKUASAAN DISKRESI OLEH PEMERINTAH PROVINSI PAPUA MENGHADAPI COVID-19 PRA DIKELUARKAN PP 21/2020 DAN PERMENKES 9/2020
JAYAPURA, PapuaSatu.com – Berkaitan dengan tindakan pencengahan penyebaran Covid-19, WHO mengeluarkan tindakan Social Distancing (tindakan Pembatasan Sosial), bertujuan mengurangi tingkat penyebaran dan dapat memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19. Sejalan dengan tindakan Social Distancing Pemprov Papua menerjemahkan tindakan tersebut dengan presepsi pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 ke wilayah Provinsi Papua, mengeluarkan kebijakan penutupan sementara lalulintas penumpang baik udara maupun laut, sedangkan lalulintas barang tetap beroperasi.
Kebijakan tersebut dikeluarkan setelah adanya kesepakan bersama dalam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Namun Kebijakan Pemprov Papua mendapat Penolakan Pemerintah Pusat, karena dinilai telah melakukan tindakan karantina wilayah sedangkan tindakan karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat sehingga kebijakan tersebut bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2) UU Karantina Kesehatan.
Terkait uraian di atas, isu hukum yang dikaji dalam opini ini adalah apakah kebijakan pemprov papua bertentangan undang-undang Karantina Kesehatan?
Dalam menjawab isu hukum tersebut penulis berargumen bahwa kebijakan pemprov papua tidak bertentangan dengan undang-undang Karantina kesehatan karena kebijakan tersebut adalah kekuasaan Diskresi pemerintah yang digunakan sebagai dasar dikeluarkannya kebijakan tersebut.
NKRI dalam menjalankan roda Pemerintahan tunduk pada asas Negara hukum (pasal 1 ayat (3) UUD 1945), berdasar asas negara hukum, konsep kekuasaan dapat dikategorikan dalam dua jenis. Kekuasaan berdasarkan “general rule of law”(kekuasaan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan “personal discretion to do justice atau (Diskresi). Berdasarkan asas tersebut Diskresi adalah sebuah kekuasaan sebagai pelengkap kekuasaan general rule of law, terkait asas hukum tersebut Permprov Papua dalam mengeluarkan kebijakannya berdasarkan kekuasaan Diskresi, dengan demikian kebijakan tersebut dapat dibenarkan secara hukum.
Lebih lanjut kekuasaan Diskresi pada esensinya dapat menyimpangi UU/ asas legalitas sejauh digunakan dalam konteks hukum, situasional dan memiliki tujuan sesuai tujuan hukum. Krishna Djaya Darumurti dalam bukunya berjudul Diskresi Kajian Teori Hukum mengemukakan bahwa:
“pada tataran abstraktif konsep kekuasaan Diskresi dimaknai sebagai kekuasaan bebas; kekuasaan berdasarkan pertimbangan subjektif atau personal dari pemegang kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pemegang kekuasaan Diskresi memiliki kebebasan bertindak dalam menghadapi suatu situasi kasuistik. Konsep kekuasaan Diskresi bersifat kontras dibandingkan dengan konsep kekuasaan berdasarkan “general rule of law” Oleh karena itu kekuasaan Diskresi adalah kekuasaan yang bersifat eksepsional; pengecualian terhadap “general rule of law”. Dalam pengertian demikian maka hakikat dari kekuasaan Diskresi adalah kekuasaan bebas di mana pemegang kekuasaan tidak perlu mendasari secara ketat aturan undang-undang dalam bertindak. Karena bersifat eksepsional maka kekuasaan Diskresi hanya dapat digunakan secara kasuistik”.
Selanjutnya, Krishna mengemukakan:
“posisi dari kekuasaan Diskresi pada badan/pejabat pemerintah adalah dalam kerangka hukum. Dalam konteks ini, tindakan Diskresi yang dapat dilakukan oleh badan/pejabat pemerintah bersifat situasional. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka badan/ pejabat pemerintah tersebut tunduk sepenuhnya pada tuntutan asas legalitas (kewenangan terikat, rule-based atau rule following)”.
Hal berikut yang perlu dikaji terkait ialah tujuan Diskresi harus sesuai dengan tujuan hukum, tujuan hukum secara esensi adalah keadilan, Peter Mahmud Marzuki mengemukakan: pemikiran tentang tujuan hukum yang lebih fundamental, yaitu damai sejahtera (peace) di mana keadilan sebagai prasyaratnya, selengkapnya:
“untuk menciptakan keadaan damai sejahtera tersebut, hukum mempertimbangkan kepentingan-kepentingan secara cermat dan menciptakan keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan itu. Tujuan untuk mencapai damai sejahtera itu dapat terwujud apabila hukum sebanyak mungkin memberikan pengaturan yang adil, yaitu suatu pengaturan yang di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang dilindungi secara seimbang sehingga setiap orang sebanyak mungkin memperoleh apa yang menjadi bagiannya”.
Terkait dengan tujuan Diskresi harus sesuai dengan tujuan hukum Krishna menyimpulkan bahwa;
“tujuan yang menjadi dasar eksistensial konsep kekuasaan Diskresi konsisten atau sejalan dengan hukum. Dalam pengertian yang lebih fungsional dapat dinyatakan bahwa supaya justifiable maka konsep Diskresi harus dilandasi oleh tujuan hukum; atau, tindakan Diskresi yang dilakukan oleh pemerintah harus dibimbing oleh tujuan hukum. Dengan demikian, keadilan dapat menjadi moralitas dari Diskresi dalam mewujudkan masyarakat yang damai sejahtera seperti tergambar di atas.
Sejalan dengan itu, badan/pejabat pemerintah yang menjalankan tindakan Diskresi harus sadar bahwa melakukan tindakan tersebut akan dinilai atau diuji oleh standar moralitas di mana tindakan tersebut harus conform karena adanya keterikatan pada moralitas a priori yang menjadi dasarnya.
Dikembalikan pada makna etimologisnya, discernere, maka pelaksanaan tindakan Diskresi mutlak memerlukan syarat tambahan bagi pelaksananya, yaitu kebijaksanaan (wisdom)”.
Sejalan dengan pemahaman Diskresi yang dikemukakan oleh Krishna tersebut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai dasar hukum positif bagi kekuasaan Diskresi secara ekplisit Pasal 24 huruf b terkait syara-syarat Diskresi gugur demi hukum, karena bertentang dengan prinsip/asas Diskresi sebagaimana diuraikan di atas, dan perlu diadakannya penyesuaian kembali terkait Pasal a quo.
Berdasarkan argument hukum atau pendapat yang dikeluarkan oleh Krishna dan dikaitkan dengan kebijakan Pemprov Papua dalam hal pemberhetian sementara lalulintas penumpang baik udara dan laut adalah memenuhi syarat, yakni situasional, dalam kerangka hukum serta sesuai dengan tujuan hukum.
Kebijakan Pemprov Papua dipahami oleh penulis sebagai tanggunjawab Negara dalam melingdungi hak hidup masyarakat (Pasal 28A UUD 1945) dan Pasal 59 ayat (2) UU Otsus Provinsi Papua pada sisi lain terlambat dikeluarkan peraturan pelaksana atas UU Karantina Kesehatan oleh Pemeritah Pusat terkait pembatasan social berskala besar bagi Pemerintah Daerah, padahal Pemerintah Daerah perlu mengambil kebijakan yang lebih tepat dalam hal pemutusan mata rantai sebagai bentuk pencegahan penyebaran Covid-19.
Dengan demikian, kebijakan Pemprov Papua seharusnya tidak bertentangan dengan UU Karantina Kesehatan karena menggunakan kebebasan Diskresi sebagai dasar kewenangan dikeluarkannya kebijakan tersebut dan tujuan kebijakan tersebut sangat menusiawi atau untuk kemaslatan orang banyak secara ekpilist terkait hak hidup yang merupakan tanggungjawab Negara. [redakasi]