FORPA-BD Tolak Rencana Pembangunan Bendungan PLTA Sungai Kao

2500

JAYAPURA, PapuaSatu.com – Forum Rakyat Papua Boven Digoel (FORPA-BD) menolak keras  rencana pembangunan Bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai Kao, distrik Waropko dan distrik dan Ambatkwi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Penolakan ini disampaikan Sekretaris Forpa-BD Everistus Kayep kepada wartawan, didampingi Tokoh Adat Paulus Katamap, Josep BAweng, Pius Anongtop dan Agustinus Binjap, Senin (12/2/2018) siang.

Everistus mengatakan, proyek  yang direncanakan berskala nasional ini  bukan  merupakan  program  Direktorat  Jenderal  Sumber  Daya  Air  (Ditjen  SDA)  Kementerian  Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia.

Sebab berdasarkan data yang  kami  peroleh  dari  Ditjen  SDA  Kementerian  PUPR,  Pembangunan  Bendungan  berskala  nasional  tahun 2014-2019 hanya berjumlah 65 Bendungan.

Sementara untuk Tahun Anggaran  (TA)  2018, Ditjen SDA merencanakan  pembangunan  11  Bendungan  baru  yaitu  Bendungan  Telagawaja,  Mbay,  Manikin,  Randugunting, Sadawarna, Tiro, Bulango Hulu, Meninting, Bagong, Rukoh dan Baliem.

Sedangkan untuk TA 2019 Ditjen SDA pembangunan 8 Bendungan baru  yaitu Bendungan Jragung, Matenggeng,  Lambakan, Rokan Kiri, Pelosika, Jenelata, Kolhua dan Riam Kiwa.  “ ini  artinya,  Bendungan  Sungai  Kao tidak masuk dalam daftar Bendungan skala nasional yang akan dibangun pada TA  2018 maupun TA 2019,” katanya.

Ia menuturkan, perencanaan pembangunan Bendungan untuk PLTA Sungai Kao dibuat oleh  Pemerintah Kabupaten  Boven  Digoel  dan  Balai  Wilayah  Sungai  Provinsi  Papua  bekerjasama  dengan  PT  Aditya  yang perencanaannya  akan diusulkan ke Ditjen SDA Kementerian PUPR  untuk  dibangun menggunakan sumber dana  dari APBN.

Rencana ini diumumkan pada akhir tahun 2017 lalu oleh Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS)  Merauke  Nimbrot  Rumaropen.  PLTA  yang  direncanakan  berkapasitas  65,13  Megawatt  ini dikampanyekan  akan  memasok  listrik  dan  air  bersih  untuk  Kabupaten  Boven  Digoel,  Kabupaten Merauke, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat.

Namun dalam perencanaan, kata Eversistus, tidak ada sosialisasi  dan terkesan dipaksakan sehingga mendapat  penolakan  dari Masyarakat Adat Kati-Wambon di Distrik Waropko dan Distrik Ambatkwi.

Lanjutnya, alasan  yang  mendasari  penolakan masyarakat terhadap Rencana Pembangunan PLTA dikarenakan, wilayah yang telah di-survey oleh  PT  Aditya  adalah  tempat-tempat  Keramat  yang  memiliki  nilai  historis  dan  spiritual  yang dilindungi dan dihormati oleh Masyarakat Adat Kati-Wambon secara turun temurun. “Tempat-tempat Keramat ini merupakan Zona Larangan Investasi,” tukasnya.

Setelah  mendapat  penolakan  dari  Masyarakat  Adat  Kati-Wambon,  Pemerintah  Kabupaten  Boven Digoel  dan  PT  Aditya  baru  akan  melakukan  sosialisasi  pada  tanggal  13  Februari  2018   di  Tanah Merah dan tanggal 14 Februari 2018 di Distrik Waropko.

“Kami menilai, apa pun bentuk sosialisasi setelah dilakukan  survey  dan mendapat penolakan dari pemilik tanah sejatinya adalah pemaksaan atau bujukan dan tidak dapat disebut sebagai sosialisasi. Langkah ini sangat tidak bermartabat, berpotensi memecah-belah  sesama  Masyarakat  Adat  Kati-Wambon  dan  menciptakan  konflik  internal  yang menguras energy,” tegasnya.

Everistus menegaskan, masyarakat menilai bahwa encana pembangunan PLTA Sungai Kao diatas tempat-tempat Keramat secara nyata menggambarkan beberapa hal yakni,  pertama sikap Pemerintah  Kabupaten Boven Digoel (dan PT Aditya)  tidak mengakui  keberadaan  Masyarakat  Adat  Kati-Wambon  dan  hak-hak  tradisional  mereka.

“Hal  ini bertentangan dengan  Pasal 18B ayat (2) UUD 1945  yang berbunyi :  “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak-hak  tradisionalnya  sepanjang  masih  hidup  dan  sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang,” katanya.

Kedua,  lanjut Everistus,  sikap Pemerintah  Kabupaten Boven Digoel (dan PT Aditya)  memberangus hak Masyarakat Adat Kati-Wambon untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati  nuraninya. Hal ini bertentangan dengan  Pasal 28E  ayat (2) UUD 1945  yang berbunyi  :  “Setiap orang  berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Ketiga, sikap Pemerintah Kabupaten Boven Digoel (dan PT Aditya) yang tidak menghormati identitas budaya dan hak masyarakat Kati-Wambon. Hal ini    bertentangan dengan  Pasal 28I ayat (3) UUD 1945  yang berbunyi  : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan  zaman dan peradaban.”

Keempat, rencana Pemerintah  Kabupaten Boven Digoel (dan PT Aditya)  untuk memutus hubungan spiritual antara Masyarakat Adat Kati-Wambon dengan  tanah mereka.  Hal ini bertentangan dengan Deklarasi Perserikatan  Bangsa-Bangsa  Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat Pasal 25  yang berbunyi :

“Masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara dan memperkuat hubungan spiritual yang khas dengan tanah, wilayah, air dan pesisir pantai dan sumber daya yang lainnya, yang digunakan atau dikuasai secara tradisional, dan untuk menjunjung  tinggi tanggung jawab mereka terhadap generasi-generasi mendatang.”

Sementara itu Tokoh Adat Kati,  Paulus Katamap menjelaskan, berdasarkan data yang dihimpun, terdapat  24 tempat Keramat di areal yang saat ini  sedang  diincar  oleh  Pemerintah  Kabupaten  Boven  Digoel  dan  PT  Aditya  untuk  Pembangunan  PLTA.

“ ke-24  tempat  Keramat  dimaksud  adalah  :  Maadigbon/Motkom,  Yinimudu,  Niin  Angganon, Anonggan,  Onongndum,  Ayam,  Sambetmbon,  Tembut  Bilipko,  Kamnigbun,  Wanik  Mogot,  Upbidipkibi, Kolomkaba, Dom Kaba, Kundimkaba, Menggek Kaba, Umukit, Mulunggo, Wunon, Welam, Niindem, Koreom, Takperep, Niin Otpon,” katanua.

Berbeda  dengan  kampanye  Pemerintah  Kabupaten  Boven  Digoel  (dan  PT  Aditya)  bahwa  PLTA  Sungai Kao akan menjawab kebutuhan listrik  dan irigasi untuk seluruh wilayah Selatan tanah Papua,  kami berpendapat bahwa kampanye ini  tidak berdasar  karena dua hal yakni,

Pertama,  Pemerintah saat ini  secara bertahap telah memenuhi pasokan listrik untuk masyarakat Kabupaten Boven Digoel, Papua,  melalui PLN sehingga kampanye saat ini bahwa kehadiran PLTA adalah untuk memenuhi kebutuhan  masyarakat akan penerangan sangat tidak berdasar dan gugur dengan sendirinya.

Kedua,  Pembangunan  PLTA  merupakan  akal  bulus  Pemerintah  Kabupaten  Boven  Digoel  untuk  memasok  Listrik  dan  Irigasi  bagi  puluhan  Perusahaan  Kelapa  Sawit,  Tebu,  Padi,  Kedelai,  Jagung,  Hutan Tanaman Industri  dan Industri turunannya yang saat ini telah menguasai jutaan hektar tanah adat  milik  Masyarakat  Adat  di  Kabupaten  Boven  Digoel,  Kabupaten  Merauke,  Kabupaten  Mappi dan Kabupaten Asmat.

Hal yang sama disampaikan, Josep Baweng yang juga sebagai Tokoh Adat Kati, melihat luasnya lahan perkebunan Kelapa Sawit di Selatan Papua  yang mencapai jutaan hektar, pada  pertengahan  tahun  2017  lalu  muncul  rencana  Pembangunan  Pabrik Pengolahan  Kelapa Sawit Terpadu  di Kabupaten  Merauke  dan  Kabupaten  Boven  Digoel. “Rencana  ini  digagas  oleh  Bupati  Merauke Frederikus  Gebze  dan  Bupati  Boven  Digoel  Benediktus  Tambonop,” katanya.

Dikatakanna, gagasan tersebut diumumkan beberapa  hari  setelah  Bupati  Merauke  Frederikus  Gebze  melarang  pihak  LSM  Indonesia  maupun  Luar  Negeri  melakukan  kritik  terhadap  Investasi  Kelapa  Sawit  di  Kabupaten  Merauke  yang  telah menghancurkan  hutan  alam,  merusak  banyak  tempat  keramat  dan  merampas  jutaan  hektar  tanah  milik Masyarakat Adat Malind.

Untuk itu, tokoh adat di Kati berpendapat, puluhan perusahaan dan industri turunan yang bercokol di wilayah Selatan Papua  jelas memerlukan pasokan listrik dengan kapasitas besar, berbiaya murah dan sistem irigasi yang baik  untuk  menjalankan  operasinya,  sehingga  Pembangunan  PLTA  Sungai   Kao  merupakan  jawaban  Pemerintah  Kabupaten  Boven  Digoel  atas  kebutuhan  mereka.

“ kebutuhan  akan  pasokan  listrik murah  yang  bersumber  dari  PLTA  adalah  cara  pemodal  meninggalkan  BBM  atau  energi  listrik berbasis  bahan  bakar  fosil  yang  mahal  demi  menekan  biaya  produksi  di  satu  sisi  dan  menaikkan profit di sisi lainnya,” tukasnya.

Hal  tersebut, lanjut Josep, diperkuat  dengan  fakta  bahwa  total  Kapasitas  Listrik  untuk  memenuhi  kebutuhan  rumah  tangga,  instansi  pemerintah,  sektor  swasta,  industri  rumah  tangga  dan  fasilitas  publik  di  wilayah Selatan Papua tidak lebih dari 20  Megawatt, sehingga sebagian besar kapasitas listrik berjumlah lebih dari 40  Megawatt  dari total 65,13 Megawatt  yang direncanakan akan dihasilkan oleh PLTA Sungai Kao  jelas akan dipasok ke puluhan Perusahaan Kelapa Sawit, Tebu, Padi, Kedelai, Jagung, Hutan Tanaman Industri dan Industri  turunannya.

Fakta lainnya, debit air sungai Kao sangat besar karena terhubung  langsung  dengan  pusat-pusat  mata  air  di  kawasan  Pegunungan  Bintang,  sehingga  tidak menutup kemungkinan, kapasitas PLTA Sungai Kao akan ditingkatkan demi melayani kepentingan kaum pemodal di wilayah Selatan Papua.

Berdasarkan fakta-fakta yang disebutkan diatas, Forum Rakyat Papua Boven Digoel (FORPA -BD)  menyatakan sikap yang sejalan dengan Masyarakat Adat Kati-Wambon dengan tegas :  Menolak  Rencana  Pembangunan  Bendungan  PLTA  Sungai  Kao  di  Distrik  Waropko  dan  Distrik Ambatkwi. [loy]