Emansipasi Pilkada Serentak

272

Oleh : Nasaridin Sili Luli

Pada peringatan hari Kartini kali ini  tampak begitu beda dengan peringatan pada tahun sebelumnya karena kondisi tanah air hari ini semakn hari semakin terpuruk.Hampir semua orang dan lembaga resmi WHO sekalipun tidak mampu  menganalisa dan memprediksi kapan pandemi Covid -19 ini berakhir di Indonesia.

JAYAPURA, PapuaSatu.com – Kebijakan pemerintah bekerja,belajar dan berdoa dari rumah membuat perempuan semakin mengambil peran penting dalam kondisi darurat pandemi Covid 19 begitu halnya juga dengan  dunia politik kita.

Hal yang tidak kala penting dalam situasi pandemi covid 19 ini perempuan tidak luput dari radar perkembangan pelaksana pilkada serentak tahun 2020 walaupun masih banyak peredebatan sana sini memgenai kapan pelaksanan pilkada serentak tahun 2020 akan mulai bergulir.

terbukti dari beberapa diskusi Vidio Converence yang saya ikuti beberapa pertanyaan kritis dari kaum perempuan yang memang menurut saya harus mendapat respon yang cukup serius dari pemerintah.Lagi – lagi soal keterwakilan perempuan dalam kanca perpolitikan tanah air yang samapai hari  di anggap masih jauh dari  kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada seluruh tingkatan.

Keterwakilan perempuan

Dalam 20 tahun terakhir ini, sebagaimana laporan Inter-Parliamentary Union pada 2015, telah terjadi peningkatan luar biasa dari keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam parlemen di seluruh dunia.

Rata-rata keterwakilan perempuan dalam parlemen nasional secara global meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 11,3% di 1995 menjadi sekitar 20,8% di 2019 (naik 13,5 point).Hampir semua kawasan di dunia memperlihatkan peningkatan keterwakilan perempuan yang sangat luar biasa antara 1995 hingga 2019. Di antara negara-negara itu ialah Rwanda (61,3% pada 2015), Kuba (53,2% pada 2015), dan Bolivia (53,1% pada 2019).

Data yang menarik, negara yang pernah menjadi bagian dari kedaulatan RI, yakni Timor Leste, pada 2019 berhasil melampaui threshold 30%, yaitu 40%, diikuti Nepal (32,7%). Sementara itu, negara lain yang mendekati perolehan itu ialah Filipina (29,5%), Vietnam (26,7%), Tiongkok (24,9%), dan Afghanistan (23,6%).Sebaliknya, Indonesia yang memberikan peluang partisipasi politik sejak pemilu pertama pada 1955 justru mengalami kemunduran dari 18,2% pada 2009 menjadi 16,8% pada 2014 (turun 1,4%).

Secara terpisah, setelah lima pemilu dilaksanakan secara demokratis di Indonesia, perolehan kursi perempuan di tingkat nasional (DPR) masih belum menembus angka 30%. Pada Pemilu 2014, jumlah kursi perempuan di DPR berkisar 17%–angka ini lebih rendah dari Pemilu 2009 (18%). Pada 2019 mencapai angka 20,8%.

Kuota 30% Perempuan

Aturan tentang kewajiban kuota 30% bagi calon legislatif (caleg) perempuan ialah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Lalu, UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu 2009

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

UU No 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian ataupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30% ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30% memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.

UU No 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap tiga bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan.

Meski representasi perempuan di ranah politik praktis sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai macam kebijakan, hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Menurut data Inter Parliamentary Union (IPU) seperti dikutip Scholastica Gerintya (2017), di level ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam terkait dengan keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara itu, di level dunia internasional, posisi Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara, jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan.

Hari Kartini Momentum Emansipasi

Dalam menghadapi Pilkada Serentak 2020 ini adalah momentum parah kartini masa kini untuk membuktikan keberadaannya dalam kanca perpolitikan untuk melakukan emansipasi peepolitikan tanah air

Fakta menunjukkan tak mudah bagi perempuan bertarung sendiri di rimba-raya politik dengan medan sirkuit yang keras dan mahal. Ia akan mudah takluk oleh dominasi kader laki-laki yang memang lebih menguasai jaringan sosial-politik dan sumber ekonomi.

Sulit menyentuh substansi demokrasi di mana keadilan dan kesetaraan menjadi syarat mutlak demokrasi yang berkeadaban dan berkesejahteraan manakala parpol tidak serius dan berani untuk membuka ruang afirmasi buat perempuan.

UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur dengan tegas bahwa harus ada 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di tingkat pusat. Tinggal dibutuhkan komitmen parpol untuk melakukannya.

Bagaimanapun parpol harus menjadi agen demokrasi sekaligus trend setter bagi perlakuan yang setara terhadap perempuan untuk mewujudkan hak-hak politiknya demi keadilan dan kemaslahatan semua. Perempuan tidak hanya diberi kesempatan menjual suaranya di atas panggung kampanye namun mampu juga bersuara dari atas kursi kekuasaan terutama demi perbaikan nasibnya pada pilkada 2020.

Perempuan harus menjadi emansiapasi unsur strategis di parpol, tak hanya ‘dibutuhkan’ laki-laki sebagai ‘pemuas hasrat’ saat sudah menjadi pejabat dan punya tahta.

Selain desakan terhadap parpol, kaum hawa harus terus mengasah kemampuan dan pengalaman sosial-politiknya untuk menarik perhatian parpol dalam kandidasi politik, termasuk menarik perhatian pemilih perempuan yang secara elektoral cukup potensial.

Sudah saatnya pada Pilkada 2020 perempuan harus melakukan emansipasi dan memperkuat solidaritas di kalangan perempuan untuk membuka jalan bagi perempuan-perempuan hebat ke arena politik maupun birokrasi belum tercipta secarah terstruktur, termasuk pula kebulatan sikap perempuan untuk mendukung calon kepala daerah perempuan yang bertarung dalam pilkada 2020 .

Perempuan yang berlaga di Pilkada 2020 nanti juga harus membuktikan diri sebagai calon pemimpin berkualitas karena gagasan dan visi besarnya sehingga tidak terus tersesat dalam rimba politik pragmatis.

Jangan lagi merobek kepercayaan rakyat seperti beberapa pendahulu yang setelah menjadi kepala daerah malah terjerat korupsi. Ini akan menjadi batu sandungan bagi demokrasi dan bagi masa depan perempuan itu sendiri, termasuk menjadi celah pembelaan diri parpol, kenapa enggan mengkandidasi perempuan.

Terakhir pesan RA.Kartini teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi. Bila tidak bermimpi apakah jadinya hidup. Kehidupan yang sebenarnya kejam”. RA Kartini. [***]

Penulis adalah Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan